Selasa, 26 Juni 2012

Resensi Film: The Raid: Redemption/Serbuan Maut (2011)

This film is about violence. All violence. Wall-to-wall violence. Against many of those walls, heads are pounded again and again into a pulpy mass. If I estimated the film has 10 minutes of dialogue, that would be generous.” (Roger Ebert, Chicago Sun-Times)

Cukup sudah membeberkan euforia, sinopsis, dengan segala tetek-bengek film ini. Saya hanya ingin berujar bahwa The Raid bak Transformers versi sukses. Di situ mengalir bombardir aksi, intensitas ketegangan konstan, serta percikan drama efektif. KNOCK OUT di ronde ke-12! [B] 26/06/12


NB.
Untuk Roger Ebert,
Terkait kutipan resensi di atas, Anda sepertinya menonton film ini untuk cari gladiator Oscar. Aneh!

Minggu, 24 Juni 2012

Resensi Film: The Photograph (2007)


Ini satu tontonan rekomendasi dari teman kerja berlatar pendidikan fotografi. Tentu ia lebih memahami luar-dalam dunia lensa ini. Belum pernah secara sengaja saya pahami sinopsis film ini, hanya selentingan baca tanpa menyerap. Shanty, sebagai pemeran utama yang kualitas perannya mencuri perhatian ini, melakoni karakter seorang wanita pekerja di kota besar guna cukupi kebutuhan puteri kandung dan nenek yang sedang sakit di kampung.

Ia berpura-pura mengaku kerja di pabrik garmen berpenghasilan cukup. Pekerjaan sebenarnya serabutan: sebagai penyanyi pub-karaoke malam sampai sebagai pramuria. Ia berutang banyak pada germo rentenir, kian menyebabkan posisinya semakin terhimpit. Kerabat dekatnya di rantauan adalah seorang ibu-ibu penjahit—dibintangi secara mengalir asyik oleh Indy Barends. Ia telah memberi bantuan banyak namun tak dapat memberikan lebih jauh lagi. Hubungan mereka pun tak jelas bagi saya, hanya sekadar kenalan dekat atau ada hubungan darah. Cukup bertebaran struktur karakter semu dalam film ini.

Semua tuntutan hidup nan memojokkan itu mengantarkan karakter peranan Shanty kepada seorang juru foto Cina. Ia menumpang di rumahnya sambil membantu sebisanya. Si tukang foto terkenal misterius itu memendam teka-teki. Mulai dari titik ini penonton dituntun menyaksikan keterikatan hubungan emosional antarkarakter utama lewat sebuah profesi dan aktivitas, fotografi. Bagi cerdik-pandai ilmu fotografi, bisa jadi film ini berkata banyak. Namun, saya sebagai penonton awam lebih memahaminya lewat jalinan plot drama. Adapun ketika kita sampai pada pengujung film maka The Photograph jelas-jelas setia pada judulnya. Membungkus jalinan cerita dengan makna yang terkandung dalam selembar foto.
Seandainya saja sejak awal film ini tak diganggu banyak subplot “hore-hore” (baca: dipadatkan), saya yakin bisa lebih berkata banyak. Jika Anda menyaksikannya dalam format VCD bersisi dua, maka bisa diibaratkan di cakram kedua baru mulai ngangkat. Nan T. Achnas agaknya menginsyafi karya art-house­ Pasir Berbisik-nya lewat The Photograph. Kali ini ia hadirkan tontonan yang lebih mudah-cerna, sarat-makna, namun ibarat masakan sayangnya ia sudah terlanjur dingin. [C+] 24/06/12   
NB. Bravo untuk akting Nicholas Saputra sebagai salah satu cameo dalam film ini!

Resensi Film: We Bought a Zoo (2011)


Film keluarga berirama santai menentramkan telah saya dapatkan lagi lewat film ini. Berkisahkan seorang ayah membeli sebuah rumah di pedalaman demi lari dari bayang-bayang kepergian mendiang isteri tercinta. Yang dibelinya bukan sebuah rumah biasa, melainkan bekas kebun binatang yang telah lama mangkrak. Awalnya ia ragu akan membeli rumah tersebut, namun puteri terkecilnya nampak bersenang hati tinggal di situ. Jadilah ia membeli sebuah rumah bekas kebun binatang itu dengan binatang dan kru-pengelola-setia yang masih cukup lengkap. Sekali lagi, secara keseluruhan Zoo mengangkat tema pengobatan diri atas masa lalu demi membuka hati dan pikiran untuk pintu masa depan.

Zoo memilih jalan naratif habis sebagai metode penguraian plotnya, tak saya dapati kandungan deskriptif berarti. Menilik karya-karya si strada, Cameron Crowe, sebelumnya semisal Vanilla Sky maka Zoo terkesan sangat ringan dan renyah. Betapa tidak, film ini banyak memakai formula umum film-film keluarga dalam konstruksinya. Katakanlah seperti babak-babak macam gurauan slapstik yang memperlihatkan kekikukan luar biasa seorang ayah berperan ganda. Untungnya si Matt Damon melakoninya secara wajar, tak hiperbolik, sehingga tak sampai membuat film ini jatuh ala karya-karya klasik Jim Carrey.

Satu sorot utama sekaligus mantra pikatan utama bagi saya terhadap Zoo adalah musik latar dan lagu pilihan dari Jonsi, musikus Islandia. Menjadikan adegan pembuka film mampu gaet minat saya. Kondisi macam ini paling tidak pernah saya rasakan ketika menonton Forrest Gump dan Road to Perdition. Suguhan musik dari Jonsi sebenarnya tak begitu monumental, lebih pada membangkitkan gairah lewat racikan pas. Baiklah, untuk sebuah film keluarga khas liburan Zoo saya bilang paket komplit oke punya. Untuk sebuah karya pemuas dahaga ajang penghargaan atau selera kritikus film, Zoo mending pergi ke laut aja. [B] 24/06/12    

Jumat, 15 Juni 2012

Resensi Film: Soegija (2012)

Sejak The Artist, baru kali ini saya menonton film di bioskop lagi. Alasan saya sekarang untuk pergi ke bioskop bukan lain karena tidak menemukan hasil unduhan filmnya di warnet. Tolong hal ini jangan dicontoh karena menurut tafsir kalangan neoliberal maka saya ini tergolong penikmat setia hasil pelanggaran hak karya cipta/intelektual. Nah, khusus untuk Soegija ini saya punya alasan spesial. Bukan karena film ini hasil buah tangan strada nasional kelas wahid (baca: menginternasional) Garin Nugroho, bukan karena sinopsis, bukan karena diajak teman, melainkan (hanya) karena ingin lihat aksi teman kuliah saya yang juga pemain teater—mantan ketua Teater Gadjah Mada (unit kelompok mahasiswa pecinta teater di kampus biru Jogja).

Bicara tentang cerita, saya takkan berpanjang-lebar. Ia mengisahkan perjuangan diplomasi uskup pertama asal pribumi bernama Soegijapranata. Bagaimana ia memahami arti sebuah kepemimpinan dan menerapkannya di tengah fase krisis: kolonisasi Hindia-Belanda, pendudukan Jepang, dan agresi militer. Walaupun pada mulanya saya berencana tak begitu menggubris selain hal-hal yang sifatnya performa teman kuliah saya, namun hasrat menikmati karya sinematik secara utuh tetap menyerang saya.

Plot. Saya bingung pada konsep dasar suguhan Garin ini. Dikatakan film sejarah, ia lemah. Riset artistik saya rasa (menimbang secara batiniah karena tanpa riset) kurang, mengingat aspal-aspal jalanan sudah nampak sebegitu mulusnya. Pemilihan bahasa komunikasi pun ada yang terkesan anakronis. Saya sempat dengar dialog kecil seorang tokoh di film ketika sedang menawarkan bantuan, ia berucap seperti halnya seorang pegawai bank sedang melayani pelanggan penuh keramahan. Di samping itu, jika ditilik judul filmnya maka sepintas di benak kita akan muncul kesan bahwa film ini mengisahkan tentang Soegija, semacam biopik atau sejenisnya.

Namun yang kita dapati dalam Soegija jauh bias daripada yang saya sampaikan di atas. Selain jarang tampil, Soegija pun tak cukup berkontribusi dalam keseluruhan plot film. Karakternya hanya menempel. Bahkan filmnya lebih banyak menceritakan fragmen-fragmen kehidupan di sekitarnya. Tentang pasangan beda bangsa saling cinta, tentang ibu-anak terpisah, tentang bagaimana semangat nasionalisme diartikan oleh masyarakat sipil dan tentara amatir, dsb. Terlalu banyak porsi tambahan yang dijejalkan membuat saya melihatnya jadi lebih tak karuan.

Hiburan yang dapat saya terima bisa dihitung: (1) dapat melihat akting bagus teman kuliah—ia memerankan karakter bernama Maryono—juga para pendatang baru lainnya; (2) iringan musik nan merdu; dan (3) beberapa pengambilan gambar cukup panoramik dan syahdu. Saya paham bahwa film berbujet sekitar 12 miliar rupiah ini bertujuan mengangkat kembali arti keteladanan pemimpin dalam bingkai belajar pada sejarah. Namun, amat sangat disayangkan… saya tak mendapatkan itu. Minimal paling tidak saya tadinya membayangkan akan mampu mengutip sebuah kalimat atau mendiskusikan satu saja momen bersejarah. Yang terjadi setelah keluar gedung bioskop malahan saya dan dua teman saya mendiskusikan tentang keanehan film yang baru saja ditonton. Satu konsensus didapat, “nanggung”.

Ketika menonton karya legendaris Garin, Daun di Atas Bantal, saya dibuat bingung-suka. Bingung karena narasinya tak kuat, suka karena tema sosial mampu diangkat secara telanjang di situ. Untuk yang saya sebut terakhir ini, Garin memang masih setia. Dalam Soegija beberapa nuansa papa berbasis budaya lokal pun terbangun khidmat. Lelucon-lelucon yang diangkat juga sangat khas. Saya sebenarnya juga berharap bahwa Garin akan coba bernarasi kuat melalui film ini, karena penasaran jadinya akan seperti apa. Minimal seperti langkah Luc Besson menghadirkan The Lady. Tapi Garin berkehendak lain…

Soegija, penawaran jamuan prasmanan beraneka menu dengan resep aman dari chef Garin. Maaf, Om Garin… Saya tiba-tiba tak lapar, saya ambil minumannya saja. [C] 15/06/12  

Kamis, 14 Juni 2012

Resensi Film: Fantastic Mr. Fox (2009)

Pada suatu ketika di sebuah negeri antah-berantah…
$#^%$%*&^*&^*%%^%^(*&^*$%#@
Cukup, cukup, cukup! Ini bukan kisah dongeng biasa. Karangan Roald Dahl (Charlie and the Chocolate Factory) selalu temukan tubrukan antara keriangan, kenakalan, dan keinsyafan. Penulis keturunan Norwegia ini mengemas Fantastic Mr. Fox dalam lilitan bungkus fabel atraktif. Naskah ciamik ini lalu diinterpretasi ulang secara eklektik oleh strada Wes Anderson. Si strada nampaknya tak hanya ingin meniru kesuksesan formula Pixar, Dreamworks, dsb., ia inginkan lebih dari itu dan lain. Saya sampai-sampai melihat kreasi Wes tak seperti kartun-kartun stop-motion pendahulu macam Chicken Run atau Wallace and Gromit. Film Fantastic Mr. Fox berbeda.

Awal filmnya memang kurang menggigit, tapi sudah ketahuan kalau film ini kreatif dan kuliahan (baca: bercanda pun tak sekadar slapstik). Berkisah tentang Mr. Fox, si rubah pencuri ulung di habitatnya yang mendadak tobat setelah tahu akan menjadi seorang ayah. Ia berjanji demikian kepada isterinya. Namun setelah si putera mulai beranjak remaja dan seorang keponakan dititipkan ke rumah tangganya, nafsu mencuri Fox spontan muncul lagi. Kalau Anda tak menonton secara lengkap filmnya, maka takkan paham mengapa tiba-tiba Fox khilaf.

Teknik fleksibel narasi Fantastic Mr. Fox cukup membangun suasana jenaka. Mulai ditempelnya subtitle adegan, sampai dengan lagu dan musik yang dipilih. Ibarat pendongeng, film ini takkan membuat pendengarnya terkantuk-kantuk. Ia justru membuat penasaran dan membangun antusiasme. Bukan tanpa alasan tentunya mengapa fabel dan mengapa rubah yang dipilih sebagai jenis karakter utamanya. Semua terjawab dalam film. Lebih jauh lagi, film ini pun tak lupa berisikan refleksi karakter manusia. Siapkan pelampung untuk antisipasi banjir pesan moral lewat satu babak kekhilafan. Seru, menggelitik, brilian. Suwer… film ini fantastis! [B+] 13/06/12  

Selasa, 12 Juni 2012

Resensi Film: Beginners (2011)

Semoga suasana hati Anda berada saat kondisi santai dan penuh rasa ketika menyaksikan film ini. Mengapa musti demikian? Film ini termasuk kategori film personal. Mengisahkan suatu kedalaman empiris, baik secara gaya bercerita maupun secara sinematografis. Karakter utamanya seorang pria berusia 38 tahun ketika menginjak tahun 2003. Ia sedang jatuh cinta untuk yang kelima kalinya pada seorang gadis cantik berambut pirang nan adem tapi misterius. Perasaan cinta si pria berkembang tatkala belum lama ia ditinggal mati ayah tercinta yang baru mengaku sebagai gay semenjak si isteri wafat. Mendadak terkalkulasi, ia terlalu banyak kehilangan: ibu, ayah, keluarga normal, dan kekasih.

Ia banding-bandingkan perjalanan sejarah hidup. Mulai ketika ortunya bertemu, mereka berdua menikah, ia dilahirkan, sampai ajal menjemput si ayah menyusul si ibu. Bagaimana semua itu berkembang, selama 40-an tahun si ayah mampu simpan penyimpangan orientasi seksual. Ia bayangkan pula kejadian-kejadian mulai dari era ortunya ketika kehidupan gay sebegitu dikecam sampai tibalah ke era tahun 2000-an yang serba bebas. Semua interpretasinya tercitra secara alamiah lewat mimik, gestur, dan karya-karya seninya sebagai karikaturis-advertensi. Itu semua melahirkan dunia dua sisi mata uang dalam dirinya: bahagia berbingkai rasa ikhlas menerima dan kesedihan berbingkai rasa kehilangan. Semenjak kehilangan besar itu, ia hanya izinkan dirinya dikawani dua hal: anjing jenis jack russell kesayangan milik mendiang si ayah dan seorang wanita sensitif, simpatisan kesedihan si pria. Mereka berdualah pengisi relung hati nan kosong milik si pria.

Saya bisa nyatakan kalau film ini cukup berat untuk disederhanakan. Namun tak bakal saya nyatakan kalau tergolong menjemukan. Jelang babak demi babak akan kita temukan kejadian menarik hati. Ewan McGregor sekali lagi cukup sukses mengulang film berlatar cerita kedekatan ayah-anak sebagaimana yang pernah ia lakoni dalam Big Fish. Di film itu ia menjadi putera yang menyepelekan “bualan imajiner” si ayah, sedangkan dalam Beginners ia menjadi putera baik yang menerima dan temani masa-masa akhir hayat si ayah pengikrar gay.

Saya ingat betul satu pernyataan ucapan karakter si wanita dalam sebuah adegan, “di balik sana manusia terbagi menjadi dua: satu pihak putus asa, yang lainnya percaya dan menunggu keajaiban datang”. Tentang itu pula film ini berujar. Ketika manusia dihadapkan pada pilihan untuk berputus asa atau tidak menyerah. Sebuah pesan klasik yang biasanya diceriterakan lewat kisah-kisah kolosal heroik, namun Beginners menyulapnya tampil lebih personal juga mikroskopik melalui deret rekaman gambar handheld lembut sedap, penyuntingan sulam rapi, berpadu iringan musik jarang namun lentik. [B+] 11/06/12   

Senin, 11 Juni 2012

Resensi Film: Unforgiven (1992)

Mengokang, tarik pelatuk, dor! Dunia film-western pasti tak jauh dari itu. Akhir abad XIX menjadi favorit setnya. Unforgiven dilakoni dan disutradarai oleh Clint Eastwood, seorang legenda hidup perfilman Hollywood, pernah meraih penghargaan Oscar sebagai film terbaik. Saya langsung ingat kepada teman kuliah saya yang benci-rindu pada karya-karya Eastwood. Teman saya itu akui suka karya-karya Eastwood karena bermutu namun juga benci karena pernah “trauma” menonton filmnya yang mengesankan selalu menangan dan jadi “santo”. Setelah menyaksikan lengkap Unforgiven, saya menangkap ya mungkin film inilah yang ia maksud.

Dari pojokan rumah bordil, ceritanya bergulir… Banyak sudut pandang terurai lewat jalinan kisah dalam Unforgiven. Mari kita pilih lewat kacamata karakter peranan Eastwood, seorang ayah dari dua anak yang telah ditinggal isterinya mati muda. Ketikan prolog di atas siluet matahari senja membuka kemanisan unsur puitis film. Di situ dijelaskan, Eastwood menikahi seorang gadis tanpa sama sekali mengantongi restu dari ibunda si isteri. Pada waktu itu, Eastwood terkenal sebagai baj*ngan berdarah dingin, pencabut nyawa orang atas nama uang. Namun, sang isterinyalah yang membuat Eastwood bertobat hijrah ke jalan lurus. Menuntunnya tak m-embunuh, tak m-inum, dan tak “m” lainnya lagi.

Setelah belasan tahun hidupnya nan alim, datanglah seorang pemuda koboi menawari kerjasama jasa pembunuhan. Sasarannya yakni duo koboi penyiksa PSK. Saya takkan mengomentari bahwa tawaran si pemuda ini membangkitkan karakter Eastwood bangkit dari kubur, namun lebih pada faktor pemenuhan kebutuhan finansial dan alasan morallah yang menggerakkannya setujui misi lama sembari mengajak kawan lama yang diperankan Morgan Freeman.

Perbuatan salah tetaplah salah, apapun itu motifnya. Pesan itu juga yang ingin diangkat Unforgiven lewat rangkaian babak yang dihadapi karakter Eastwood. Di samping itu, latar belakang dunia-country dalam film ini sangat kontekstual dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia sekitar masa ini. Ketika hukum berasa penting dan berupaya ditegakkan namun si penegak sendiri alih-alih adil dan konsisten namun malah menggunakan haknya sesubyektif mungkin makanya yang terjadi adalah ketidakpuasan. Keengganan masyarakat untuk membantu aparat hukum, tak respek.

Film-western karya Eastwood ini macam produk Hollywood’s sweetheart yang mana tokoh utamanya tetap selamat, walau ia pernah jadi antagonis, kemudian bertobat, dan muncul kembali cetak kontribusi besar. Ia rontokkan tirani, letakkan pondasi liberal. Setelah Unforgiven memasang ketikan epilog bersiluet sama persis sewaktu membuka film lewat ketikan prolog, saya sadar betul bahwa khotbah Eastwood ini sastrawi. Meski film disampaikan secara lamban ala produsen jompo walau tak terbata-bata, namun menggugah kita tatkala rasa kantuk mulai menghinggap. Ia kuasai betul apa yang sedang diceramahkannya. Saya respek karenanya. [B/A] 10/06/12

Minggu, 10 Juni 2012

Resensi Film: The Lady (2011)

Kisah film ini masih hangat dan terus berlangsung. Tentang Aung San Suu Kyi, peremuan aktivis prodemokrasi di Myanmar. Sineas Luc Besson mengangkatnya ke dalam film rapi, aman, dan tak tergesa-gesa berdurasi 2 jam lebih sedikit. Penajaman plot film ini terletak pada suatu posisi dilematis. Ketika sang nyonya berhadapan pada pilihan antara berada di Myanmar (mendampingi rakyat melawan tirani pemerintahan junta militer) dan di Inggris (menemani sang suami yang sedang menghadapi kanker prostat, serta berada di samping dua putera tercintanya).

Alur film berjalan maju-mundur, namun tak rumit. Penonton masih gampang memahaminya. Di samping itu, film ini terkesan tak begitu ngoyo. Layaknya kita mendengar sebuah jalinan cerita dari seorang teman tukang ngobrol, bukan seperti kita membaca artikel koran atau majalah yang sejatinya singkat, lugas, padat tapi nyatanya tak sedikit malah membuat pembacanya harus berkali-kali membaca ulang kalimat yang telah lalu. The Lady hampir-hampir lebih menyerupai sensasi sewaktu kita menonton mini seri macam Band of Brothers atau sejenisnya.

Salvo untuk Michelle Yeoh! Interpretasinya terhadap tokoh Suu Kyi sungguh sangat bisa diterima. Kekuatan film ini, kalau saya pikir, terletak pada kasting. Dua pemeran utama yakni Suu Kyi dan suaminya memuaskan. Mereka perlihatkan jalinan asmara nan dewasa penuh pengertian. Adegan ketika Suu Kyi menyanjung suaminya saat santai kala sore hari berdiri di atas balkon setelah sekian lama terpisah dengan mengucap, (lebih-kurang begini…) “engkau suami tersabar dalam sejarah”, sempat membuat saya tersenyum dalam artian kocak-romantis.

Kalau ditimbang dari aspek historis, mungkin The Lady masih berekanan dengan film-film roman tokoh historis lainnya macam The Queen, The Iron Lady, dkk. Mudah sekali tuk terinspirasi dengan tokoh macam Suu Kyi. Oleh karenanya, film ini tak perlu hiperbolik diceriterakan dan Luc Besson nyaris mengemasnya tanpa bumbu penguat drama berarti. Justru itu telah menjadikan film ini terasa lumayan. [B] 09/06/12 

Rabu, 06 Juni 2012

Resensi Film: Carnage (2011)

Belum pernah saya tonton sebelumnya film hasil adaptasi drama panggung berseting di satu tempat saja. Beberapa yang saya ingat rata-rata berpindah set, semisal salah satunya Doubt. Film arahan strada gaek Roman Polanski (The Pianist, The Ghost Writer) berbintang 4 artis watak (Jodie Foster, John C. Reilly, Christoph Waltz, Kate Winslet) ini awalnya cukup menarik. Saya sempat ketawa spontan di beberapa adegan, tapi lama-kelamaan…

Kisahnya berputar pada adu argumentasi antarpasangan ortu. Penyebab berseterunya mereka adalah sebuah masalah “sederhana” antaranak mereka di sekolah. Satu merasa dianiaya, lainnya merasa dihina. Set tunggal diambil di sebuah ruang apartemen ketika salah satu pasangan ortu bertamu adakan upaya rekonsiliasi. Bukan percakapan mulus yang terjadi, malahan berkali-kali mereka masuk-keluar rumah (baca: tak jadi-jadi pulang) karena terus eyel-eyelan. Lantas, apa poin utama yang ingin disampaikan dari film ini? Sejauh yang saya tangkap, drama Carnage berusaha memaparkan konflik ide di dalam kerangka kepura-puraan, kepalsuan hidup, dan cenderung ke kemunafikan.

Dalam film ini, satu pasangan ortu diperankan Jodie Foster-John C. Reilly. Pasangan ortu lainnya yakni Kate Winslet-Christoph Waltz. Semua saya kasih tepuk tangan. Lebih-lebih ketika Winslet sempat memuntahi meja tamu berisikan tumpukan koleksi seni kesayangan Foster. Yang agak overakting di sini malah Foster, namun dapat dimaklumi karena ia berperan menjadi pecinta kedamaian yang terkungkung oleh lingkungannya, frustrasi berekspresi, maka membuatnya histeris. Bravo untuk permainan Reilly dan Waltz, terutama bagi Waltz yang konsisten tampil dingin. Hanya saja sempat aneh ketika personalitasnya mencolok berubah drastis sewaktu ponsel miliknya dibuang sang isteri ke vas bunga berisikan air. Memang, suguhan permainan akting dalam Carnage teramat melimpah.

Meskipun berdurasi nyaman, 80-an menit, menyaksikan film akrobat cekcok antarortu dalam sebuah ajang katarsis norak ini tetap menyisakan siksa bagi saya. Tak ada solusi hingga akhir, jika (katakanlah) sebuah mispremis ditawarkan. Hanya ikrar, “ini hari terburuk sepanjang hidupku” yang diamini keempat karakter utamalah yang jadi menu penutupnya. Tentu saya tak ikut-ikutan sebombastis bilang demikian. Namun, saya takkan berargumen ketika ada penonton bilang, “ini film terburuk yang pernah saya tonton”. [C+] 06/06/12

Selasa, 05 Juni 2012

Resensi Album Musik: Raisa - Self Title (2011)

Parasnya cantik, suaranya legit, belum punya gosip miring. Duh! Sebuah paket lengkap saya sematkan untuk biduanita anyar blantika musik Indonesia bernama Raisa. Selamat datang, Mbak! Pertama saya tahu lagunya bukan dari radio, bukan juga dari playlist supermarket, melainkan dari sebuah ruang remang sewaan karaoke. Teman saya saat itu tiba-tiba memilih sebuah lagu berjudul Serba Salah. Emang dasar suara teman saya oke maka spontan saya pikir karena olah vokalnyalah lagu ini terkesan menarik. “sudah lupakan segala cerita, antara kita… ku tak ingin, kau terluka karena cinta…” begitulah lirik refreinnya. Hingga selang berapa saat, tiba-tiba mbak (senior) di tempat kerja rekomendasikan saya mendengar lagu-lagu Raisa. Emang apa hebatnya sih si Mbak ini? Oke, saya segera cek.

Lewat pertolongan (atau colongan?) dari file warnet, saya berhasil mengopi sealbum baru Raisa yang berisikan 9 lagu. Saya ragu sih, apakah memang isinya 9 lagu atau sebenarnya lebih? Maklum, data unduhan warnet kan bisa tak lengkap wong bukan orisinil. Tapi meski demikian tak halangi niat saya coba cicipi karya Mbak Raisa. Lagu pertama berjudul Melangkah, bertempo sedang irama santai. Pas banget buat lagu pembuka album, dengan lirik positif senada Move On-nya Andien lagu ini menebar pikatan menggoda tuk terus tancap gas ke lagu-lagu selanjutnya. Nah! Formula umum susunan album saya temukan. Lagu kedua diisi single album. Ya, disinilah bertengger Serba Salah yang saya sebutkan di atas. Mmm, memang menarik pembawaan Raisa bawakan lagu ini. Terkesan jelita, trendi, malah kasual-segar. Tak perlu teknik akrobatik guna memikat pendengar, bisa cukup berimprovisasi mainkan mantra “hey, yey, iyey, ye…” saja.

Diikuti dengan lagu Cinta Sempurna yang lamban ala pop R&B di nomor ketiga, lalu sedikit naik tensi album di lagu berikutnya berjudul Inginku. Agak mengingatkan saya dengan aroma lagu-lagunya Denada di awal karier. Irama turun lagi lebih jauh ke sensasi sendu tapi tak kelam bertajuk Apalah (Arti Menunggu) di nomor kelima. Saya punya kenangan khusus dengan lagu ini karena pertama kali dengarkannya sebagai musik latar pendinginan senam. Parah, bukan? Ha3… Tapi tak mengapa, dinikmati dengan cara sungguh-sungguh melepas memori itu ternyata saya mampu ikuti komposisi manis lagu ini. Ya, satu koleksi berklimaks yang pertama saya temukan di album ini. Kemudian saya kira lagu setelahnya bertempo semangat, ternyata saya salah sangka. Masih saja lagu “loyo” bertengger, malah durasinya terpanjang seisi album (4:45) berjudul Bersama. Untungnya ada tawaran menarik di lagu ini, yakni kemasukan unsur bunyian saksofon. Menambah nuansa jazzy romantis di balik lirik merah jambunya.

Single lainnya dari album ini adalah Could it Be. Yang satu ini pokoknya Raisa banget! Ada bagian berbahasa Inggris-nya. Tentu diucapkan secara asyik, enggak ndeso atau sok-sokan. Yah, saya langsung membayangkan gimana jadinya jika Raisa nyanyikan lagu-lagunya Maliq & d’Essentials atau Humania? Lalu disusul Terjebak Nostalgia, tentang rasa ingin menyendiri. Rasa-rasanya saya ingin segera lewati lagu ini. Mengapa? Anda pasti paham tatkala kita berkenalan dengan lagu yang sangat susah untuk berterikatan emosional mengingat nada-nadanya tak ada yang spesial atau menarik perhatian dengan lirik autis. Oke, sampailah kita ke pengujung album. Pergilah. Awalnya agak konyol dengar musik terompet intro-nya. Lewat lagu penutup ini Raisa memekikkan jargon girl power. Macam lagu yang hampir mustahil menjadi single sebuah album.

Di tengah industri musik Indonesia akhir-akhir ini yang hampir kurang beranomali, Raisa muncul membawa kesegaran lewat dendangannya nan kece punya. Sebagai album pertama, saya cukup tertarik walau tak sampai jadi favorit. Sebuah album yang, saya bayangin (karena belum punya), ngepas buat diputer dalam mobil. Putar di kafe-kafe komunitas juga oke. Harapan saya semoga Mbak Raisa tetap eksis dan kian menggelora. Jangan stagnan seperti Terry hingga detik ini. Sayang tentunya bila potensi tak diasah, sembari merengkuh atensi pasar. [B-] 04/06/12