Jumat, 30 Desember 2011

Resensi Film: Away We Go (2009)

Kalau film ini bukan disutradarai oleh Sam Mendes kemungkinan besar saya takkan pernah dengar judul dan enggan menontonnya. Sebuah film kecil tentang hubungan sejoli kumpul kebo yang menghadapi masa kehamilan dan sedang mencari “rumah”. Kenapa saya beri tanda kutip? Di sini artinya bisa mendua, rumah sebagai tempat tinggal dan rumah sebagai komitmen mengarungi bahtera rumah tangga. Mereka tak punya ide ataupun persiapan atas kehamilan ini. Si cowok tetap ingin melamar dan meresmikan hubungan, namun si cewek bagai batu menolak pernikahan. Biarkan hubungan berjalan seperti yang ada, komitmen tanpa ikatan pernikahan.

Si cowok yang pemuda kulit putih kikuk, phlegmatis, dan tak lulus kuliah ini menjalin cinta dengan cewek afro-amerika penutup masa lalu diri dan secara intelektual lebih pandai dari si cowok. Dari satu tempat ke tempat lain, mereka mencari “rumah”. Satu per satu dihinggapi dan dicoba, mulai dari rumah orang tua si cowok sampai saudara dan teman keduanya. Naas bagi pasangan usia 30-an ini karena kesemuanya tak berjodoh. Ada yang agak cocok tapi selalu ada penghalang, dan seringnya yang mereka temui adalah ketidakcocokan. Sepanjang film, saya merasanya cinta mereka menjadi bersemi ketika nomaden dan menyaksikan aneka ria model manajemen pasutri.

Menonton Away We Go hampir sesensasi ketika menikmati film ketiga Sam Mendes, Jarhead. Plot linier nyaris tanpa konflik berarti. Apabila Jarhead tema yang dikemukakan lebih politis, sedang yang ini lebih sosial, namun tetap pada level personal walau tak begitu terkesan mendalam. Away We Go coba memotret dengan lensa kamera komikal tanpa efek zoom tentang ironi kehidupan pasangan-pasangan cinta di tengah dunia yang semakin terbubuhi aroma kepanikan dan teror. Secara filmografi, terang saja Away We Go bukan termasuk jajaran atas karya Sam Mendes. Namun, dari yang kecil dan santai ini, Mendes tetap membuatnya tak buruk rupa. Ia seperti ingin membuat sesuatu yang ia suka tanpa tuntutan harus seperti ini atau itu supaya dapat ini atau itu.

Sepanjang kita pergi… sepanjang film datar ini pula tanpa sadar tahu-tahu kerasa perih seperti kulit luka terkena sayat kertas. [B] 30/12/11

Kamis, 29 Desember 2011

Resensi Album: Adele - 21 (2011)


Suara agak berat mantap, sedikit sengau. Begitulah kesan pertama saya mendengar Adele. Pertama tahu lagunya lewat Someone Like You, sebuah lagu sentimental kekurangikhlasan batin melepaskan kekasih lalu. Dengar untuk pertama kalinya, saya langsung kesengsem. Tak ayal karena akhir-akhir ini dunia miskin lagu pencuri hati saya yang jujur, kuat, dan personal. Bagi saya, Adele bak oase di tengah semaraknya industri musik pop nan progresif dan enerjik. Satu kata saja terucap dari mulut Adele ketika menyanyi, pun hati ini seketika kenal betul bahwa ia memancarkan aura penyanyi bertalenta. Bakat vokal soul alamiah yang saat ini jarang muncul ke permukaan.

Dalam sebelas lagu di album 21, konsep nama album yang mudah dikenali dan diingat karena sesuai perkembangan usia Adele sendiri, Rolling in the Deep mengawali parade musik semiteatrikal. Si lagu cinta penyulut api dan bertenaga ini sempurna menohok pendengar 21 di saat-saat awal. Saya seperti orang yang sedang duduk menonton konser tunggal penyanyi restoran dan kemudian spontan bangkit menari kaku ikuti alunan beat musik. Lagu berikutnya, Rumor Has It, sangat girl-power dengan musik yang masih menghentak. Penggunaan filler tepukan tangan dan pengiring vokalnya memperkuat sensasi klasik. Nah, lagu slow manis sendu pertama ada di urutan ketiga lewat judul Turning Tables. Lagu yang sangat mudah dicintai.

Mulai empat urutan awal, sepertinya kita akan sadar kalau album ini cenderung disusun 2-2 (2 lagu mayor, 2 lagu minor, dst.). Walau nantinya juga tak demikian, tapi dibanding 1 ceria – 1 sendu sepertinya untuk Adele kurang cocok karena jarak antara semangat dan kesenduan lagunya sangat mencolok. Saya kembali terpukau dengan lagu di urutan kedua terakhir, yang tak lain merupakan remake Lovesong-nya The Cure. Di sini Adele bermain-main di ranah jazz dan bosanova. Penampilan seperti ini tentu akan sangat memancing perhatian. Andai saja Anda pergi ke kafe bersama pasangan, pasti Anda akan khusyuk menikmati penampilan itu. Nuansa romantis senantiasa terbangun, bayangkan perlahan tangan Anda mendekat menghampiri jemari pasangan dan ketika lagu menjelang pungkasan Anda bersiap-siap mengucapkan “aku sayang kamu, Sayang”…

Lagu penutup tak usah didiskusikan lagi masterful-nya, Someone Like You. Refleksi mendalam dari kejujuran seseorang yang sebenarnya terlarang untuk diungkapkan. Saking telanjang dan utuhnya lagu ini, membuat saya berpikir akan sangat susah bagi penyanyi lain mengutak-atik komposisi dan aransemen lagunya. Adele sangat menjanjikan. Tak perlu popularitas bombastis, saya pikir ketenarannya bisa terjaga asalkan ke depan ia memproduksi 21-21 lainnya atau bahkan melebihi 21. Lewat album ini, Adele cukup menunjukkan kepada dunia, “tak usah banyak cing-cong, hingar-bingar, kebanyakan ulah, (Jawa: kakeyan polah), dkk. untuk berkarya” [A-] 28/12/11

Rabu, 28 Desember 2011

Resensi Album: Letto - Cinta... Bersabarlah (2011)


“Du du Rindu… itulah laguku,” Itu pula yang saya rindukan dari grup band asal Kota Gudeg ini. Definitif, mendayu, tanpa menye. Dan tadi merupakan salah satu judul lagu dari total 10 tembang yang terhimpun dalam album terbaru bertitel Cinta… Bersabarlah. Instan setelah sekali mendengar keseluruhan album, saya langsung menangkap aroma tobat. Ya! Mereka kembali ke basis. Nearly goes to spiritual pop again. Jelas kita tahu bahwa dalam beberapa kasus lagu-lagu Noe dkk. terkesan menye-menye. Tapi dengar, pahami, dan resapi dulu lirik-liriknya. Serba perenungan dan dialog kebatinan. Dalam album ini tak ada yang spesial dan eksperimental terkait musikalitas mereka. Nikmati satu per satu judulnya dan akan didapati kedalaman Noe dkk. mendiskusikan cinta, pernikahan, dan transcendental. Welcome back for them! [B+] 28/12/11

Selasa, 27 Desember 2011

Resensi Film: The Ides of March (2011)

Lewat film ini, semakin memantapkan bahwa aktor Ryan Gosling selektif memilih peran. The Ides of March bisa saja mengantar Gosling memakai atribut nomine aktor terbaik Oscar. Mimik memendam amarahnya kuat tercitra dalam film politik ini. Ia memerankan karakter tim manajer kampanye bakal calon presiden yang diajukan Partai Demokrat. Brilian dan potensial, itulah karakternya. Seperti jamak diketahui, politik adalah kekuasaan. Di sini, hasil berperan sebagai kartu as. Borok-borok politik di belakang layar jelas tak terkira jumlah dan parahnya.

Jangan sekali-kali hanya mengandalkan label “brilian dan potensial” di dunia politik. Itulah pelajaran yang disampaikan George Cloney yang lama-lama jadi Deddy Mizwar-nya Hollywood lewat film arahan terbarunya ini. Dunia politik adalah monster, ketika yang putih bisa menjadi hitam dan hitam bisa menjadi putih pada saat yang sama. Tak mengenal kawan, yang dikenal hanyalah. Secara konten, The Ides of March bolehlah… Ia menambah rentetan film pembeber aib kebusukan dunia politik. Namun masih ada sayangnya, ia bermain terlalu aman dengan tanpa menampilkan kebaruan sehingga menetaskan telur yang akan dikonsumsi, bukan telur eraman. [B] 26/12/11

Senin, 26 Desember 2011

Resensi Film: Cars 2 (2011)

Ka-chaw! Tak terasa sudah bertahun-tahun sejak Disney+Pixar merilis Cars orisinil. Kala itu saya apatis dengan kartun berkarakter otomotif ini, menonton pun di luar masa edarnya alias lewat VCD. Menyesal karena baru tahu bahwa mutunya cukup terjamin, CGI hiburan berkonten kajian sosio-ekonomi. Lalu, sekarang bagaimana dengan nasib Lightning McQueen dkk dalam Cars 2?

Dibuka dengan adegan khas spionase klise. Karakter-karakternya belum pernah saya kenal sebelumnya. Mmm… kenapa jadi seperti ini gumam saya? Tunggu sampai ketemu karakter-karakter lama di babak selanjutnya, baru coba menebak-nebak kisahnya niat saya. Simpel, McQueen ditantang kembali oleh pembalap arogan asal Italia dalam rangkaian trek Grand Prix: Tokyo, Italia, dan London. Ada tiga menu utama dalam Cars 2: (1) pertandingan Grand Prix melawan si arogan; (2) friksi persahabatan McQueen; (3) isu konspirasi bisnis bahan bakar minyak.

Apa?! Konspirasi? Yah, inilah yang diangkat Cars 2 ketika dulu Cars 1 mengutarakan isu efek sosio-ekonomi terkait dibangunnya jalur-jalur tol. Saya terkadang tak habis pikir kepada Pixar dkk, kenapa mereka mengangkat isu-isu kritis ke dalam sebuah film konsumsi anak-anak. Ada banyak yang berhasil memolesnya sehingga laten, namun ada pula yang kasar polesannya. Nah, Cars 2 bagi saya tak canggih mengemasnya. Di samping polesan yang sintetis, Cars 2 kurang grengggg untuk skala Pixar.

Entahlah bagaimana nasib waralaba Cars selanjutnya, lewat suguhan seri kedua ini saya pikir Cars tersiksa menyusul sukses pencapaian Toy Story yang hat trick di ketiga serinya, bahkan seri teranyarnya sangat “bertaring”. Menonton Cars 2 sepertinya bak film layar lebar AADC yang diadaptasi ke versi sinetron tayangan RCTI, meski saya sendiri belum pernah utuh menonton serialnya. Tapi saya yakin, akan seperti itu sensasinya. Saya harap jemari Anda jangan jauh-jauh dari remote control TV. [C+] 25/12/11

Kamis, 22 Desember 2011

Resensi Film: Melancholia (2011)

Setiap kali menyimak film berbau nyeni, saya selalu harus siap-siap dulu. Semacam demam panggung. Antimo, obat penenang, dkk. pokoknya saya musti tersugestikan lebih dulu supaya tahan menonton hingga pungkasan. Judul yang satu ini sebenarnya cukup populer mengingat masuk film seleksi Festival Film Cannes dan di samping itu saya sering menikmati karya sang staradnya, Lars von Trier. Tonjokan pertama film Trier saya dapatkan ketika mendapati Dancer in the Dark yang dibintangi Bjork. Kemudian sempat tak utuh menonton Dogville, karena DVD bajakannya rusak di tengah jalan. Kemudian mencari-cari Antichrist, yang benar-benar susah diusahakan secara gratisan.

Melancholia, yang berposterkan Kirsten Dunst dalam balutan gaun pengantin sedang mengapung di atas sungai jernih, menyisakan teka-teki tentang apa gerangan film ini. Manapula judulnya Melancholia, yang sepintas akan dikira suatu kisah melodrama khas melankolis di dalamnya. Ternyata bukan demikian! Saya sempat sepintas pernah membaca sinopsisnya, namun belum jelas karena keterbatasan kemampuan saya dalam menerjemahan bahasa Inggris teknis dan kontekstual. Ah… langsung tonton saja.

Di balik poster misterius dan nama besar sang strada serta pemeran-pemerannya, Melancholia bercerita ihwal fase menjelang ajal. Diceritakan, terdapat sebuah planet bernama Melancholia yang dengar-dengar akan menabrak Bumi. Untuk mengetahui plot utama ini saja penonton harus tahan sampai bagian 2-nya yang mana meghabiskan satu jam pertama durasi. Perlu diketahui, plot film ini dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, tentang acara malam pernikahan dalam sebuah keluarga berintrik. Bagian kedua, memperjelas tentang plot utama: saat-saat jelang menabraknya Melancholia. Tak usah menyangkal akan terjadi sebuah ending yang tak mengenakkan. Trier sudah memberi sinyal sejak awal film, yakni dalam kolase sinematografi pembukanya.

Akting para pemainnya jelas gemilang, dan ini tak luput dari sentuhan magis teknik handheld khas Trier. Biarlah juri Cannes menghadiahi Dunst penghargaan aktris terbaik, tapi memang ia menampilkan apa yang harus karakternya munculkan. Sampai rela-rela ia berpose telanjang, walau sebenarnya bisa digambarkan lebih tak frontal.

Melancholia, menghantam tepat di akhir setelah kita menunggu lama hampir kebosanan laiknya sedang mengamati lambannya itungan mundur lampu merah di simpang jalan. [B+] 21/12/11

Selasa, 20 Desember 2011

Resensi Film: The Help (2011)


Jika menyimak sejarah USA pasti tak terpisahkan dengan kisah-kisah diskriminasi ras. Kali ini ada lagi film (saya bilang) bagus bertemakan itu, setelah beberapa pendahulunya sebut saja Crash dan Gran Torino. Saya termasuk yang memprediksi judul ini bisa masuk kategori film terbaik Oscar 2012, lebih lagi kansnya akan kian besar masuk jajaran nomine bila panitia Oscar masih memajang 10 judul seperti tahun-tahun belakangan ini.

Lupakan sejenak jackpot Oscar, mari kita beralih ke The Help. Bagaimana mekanisme kehidupan pembantu negro dalam rumah tangga kulit putih menjadi topik utama film ini. Seorang pembantu “dikebiri” impiannya dalam menjadi seorang yang bukan berprofesi babu, hasil tradisi turun-temurun. Sebagai pembantu, WC mereka dipisah dengan yang dipakai pemilik rumah. Dalihnya, supaya pembantu negro tersebut bisa menularkan penyakit! Lebih ironisnya tatkala mereka terpaksa merawat bayi berkulit putih majikannya, sedangkan anak mereka sendiri dirawat orang lain. Semua dikerjakan demi mendapatkan gaji cukup untuk bertahan hidup.

Masih banyak lagi kejadian menarik lainnya nan dramatis terkait kesengsaraan nasib kulit hitam di USA sekitar pertengahan abad ke-20. Tokoh utama dalam film ini adalah seorang pemudi, editor cemerlang yang sedang dalam masa keemasan mendulang prestasi. Ia sukses dalam karier, namun tidak dalam cinta. Mari kita kesampingkan subplot klise ini. Ia tertarik dengan ide mengubah sudut pandang kisah dan berita. Bagaimana jika sekarang pembaca disuguhi kisah/berita dari sudut pandang para pembantu negro, di tengah konsumsi pemberitaan dan narasi yang sangat white-skinned sentris.

Banyak cobaan dan tantangan yang menerpa si pemudi ini. Itulah salah satu poin utama yang disampaikan The Help. Mengingatkan kembali pada Erin Brockovich, ketika seorang pemberani (aktivis) harus siap dengan segala konsekuensi negatif yang akan dihadapi. Beberapa kelemahan film ini yakni ketika kita, sebagai penonton, sudah tahu dan menerka bahwa bakalan banyak adegan-adegan haru. Selain itu, kurang personalnya penggambaran masing-masing karakter membuat durasinya yang sudah melebihi rata-rata, yakni 2,5 jam, terasa kurang menyentuh. Berbeda sekali ketika kita menikmati Forrest Gump yang terbersit adegan monumental “Run, Forrest. Run!!!”, yang dalam film ini pun ada naskah tersebut, The Help membiarkan kita tak puas mencapai klimaks.

Walau demikian, filmnya rapi, kalem, dan aman. Sekarang kapan lagi kita bisa menikmati fitrah film Hollywood di tengah kebingungannya yang lagi demam restorasi 3D film-film lawas. [B+] 19/12/11