Selasa, 20 September 2011

Ditindih



(lokasi: perempatan SDN Tukangan, Yogyakarta)

Musim pemilukada, musim barbar.
Tak peduli apa itu vandalisme, apa itu grafiti.
Yang penting tempel dan pamer.
Tiap hari saya diteror dengan wajah-wajah balon (bakal-calon).
Para eksibionis temporer.
Mural yang tadinya memperindah pun jadi korban.
Ia ditindih.
Kemana kepedulian dan kontrol KPUD?
Belum lagi kampanye ala konvoi sok jagoan.
Sempat pula saya temukan mobil pick up terbuka berisi grup musik organ tunggal.
Lewat lagu-lagu macam "Bojo Loro", "Bokong Semok", dkk., sejumlah bapak dan om berjoget ria hampir sesaki badan jalan. Saya temui itu kala sore hari di dekat Pasar Lempunyangan. Setelah mendekat, ternyata ada gambar satu pasangan calon membabi buta. Di kaos, di poster, entahlah kalau ada pula yang di "daleman"...
Jadinya jalanan macet. BBM terbuang sia-sia. Masyarakat harus banyak-banyak konsumsi yang mengandung antioksidan dan istighfar..
Selamat dan sukses (untuk siapa?)
Saya tunggu bersih-bersihnya.

Minggu, 18 September 2011

Resensi Single: Coldplay - Paradise (2011)

Single kedua dari album Mylo Xyloto (belum diketahui apa artinya) rilisan bulan depan ini sudah banyak diunduh baik secara resmi maupun “ilegal”, setelah sebelumnya kelompok yang divokali Chris Martin mengorbitkan Every Teardrop is a Waterfall sebagai single pertama. Satu single saja mungkin tak cukup merepresentasikan ide dan konsep apa yang ditawarkan Coldplay pada album terbarunya. Makanya mungkin setelah single kedua dirilis, banyak fans dan penikmat musik umum bisa meraba-raba “dagangan” Coldplay di tengah iklim industri musik yang belum berhasil memunculkan fenomena baru lagi setelah demam Lady Gaga, kepolosan Taylor Swift, histeria Justin Bieber, beserta keremajaan Katty Perry, dkk.

Sepertinya takkan ada harapan cerah dari gelombang Britpop setelah mendengar single Paradise. Berdurasi kurang dari 5 menit dengan overture sekitar 1 menit yang mana 30 detik pertama berupa alunan orkestra ringan bernada Viva La Vida versi lemas diiringi hembusan percikan ringan akor ala musik gereja. Kemudian dimentahkan dengan masuknya suara petikan gitar bas yang sedikit berat di semacam komposisi musik yang bagi saya milik Roxette (Milk, Toast, Honey) banget namun dalam versi megahnya. Setelah puas menyajikan semenit musik pembuka yang agak mengejutkan karena terasa sebegitu popnya karya salah satu band favorit saya ini, Chris Martin memulainya dengan “when she was just a girl, she expected the world…” Barulah saya mulai berkonsentrasi pada lirik.

Setelah mengetahui keseluruhan lirik, saya dapati kekecewaan kedua. Tak ada yang spesial dengan lirik Paradise. Ia hanya menyampaikan pandangan terhadap dunia lewat kacamata seorang gadis kecil, yang berharap sesuatu surgawi. Tadinya saya berharap ada letupan emosional atau pemikiran di balik lirik Paradise guna menutup faktor biasa dalam musik pembukanya. Ternyata tidak. Hal ini berbeda sekali ketika saya mendengar untuk pertama kali Violet Hill dalam album Viva La Vida yang sebenarnya juga biasa saja dari segi syair namun sensasi aneh dan kelam musiknya kentara sekali hingga memaksa diputar berulang kali supaya terbiasa. Kondisi Paradise mirip-mirip In My Place ketika diluncurkan sebagai single pertama atas A Rush of Blood to the Head.

Hingga pada saatnya saya baru tersadar, bahwa dalam Paradise Chris Martin dkk menginginkan sebuah karya (maunya) anthemic yang bisa dinyanyikan bersama-sama di stadion dengan intonasi teriakan khas Michael Jackson bersama suara-suara “malaikat-malaikat” kecilnya atau Haddad Alwi bersama anak soleh-solehahnya dengan lirik “para-para-paradise… ow, ow, o… ow, ow, ooohhh” Hanya inikah yang mereka kehendaki dalam Paradise? Kalau demikian adanya, saya kecewa berat bin akut bin menjadi-jadi.

Seperti biasa, secara keseluruhan tiap karya Coldplay bukanlah ecek-ecek atau asal laku. Mereka punya kelas dan itulah yang membuat demarkasi ekspektasi. Sejak Yellow membahana disusul album A Rush of Blood to the Head yang kuat beserta karya-karya berikutnya yang agak progresif (terutama dalam Viva La Vida), Coldplay membuktikan eksistensi kualitas musik mereka. Sampai pada tragedi tuntutan plagiarisme untuk lagu Viva La Vida oleh joe Satriani menghinggap, mereka tetap berdiri. Sudah lima album dihasilkan (termasuk Mylo Xyloto). Sejauh ini Coldplay berhasil membangun basis fans yang kuat. Saya melihat Mylo Xyloto bakal menjadi hantaman dan ancaman serius bagi basis fans. Generasi dan komunitas fans bisa jadi akan berganti. Saya pribadi, lewat mendengarkan Paradise, telah menggeser peringkat Coldplay dari fav-list. Tentu mereka turun dalam pemeringkatan versi saya.

Dalam kekecewaan yang agak mendalam, saya tetap memutar Paradise berulang kali. Seperti saya memilih lagu dalam playlist reguler, which make no deep senses at all… [C+] 17/09/11

Senin, 12 September 2011

Resensi Film: Offside (2007)

Pelembagaan agama. Satu kata yang pasti terpintas ketika membahas tentang Iran. Offside saya tonton di Metro TV lewat programnya World Cinema yang lagi-lagi menayangkan terkait Iran (setelah Persepolis di minggu sebelumnya). Bukan suatu istilah asing lagi. Offside berarti pelanggaran karena berada di belakang baris pertahanan lawan ketika bola dilancarkan pada pemain ybs. Kali ini yang mencoba peruntungan offside adalah kaum hawa Iran yang hendak diam-diam menonton secara langsung pertandingan sepakbola kualifikasi piala dunia Iran melawan Bahrain di stadion utama.

Lewat film ini, saya baru tahu bagaimana Iran menjalankan politisasi agamanya sedemikian ketat. Kaum adam dan hawa tak boleh menonton pertandingan secara bercampur dan harus menonton acara yang sejenis kelamin. Mengapa hal ini bisa terjadi dan atas dasar apa implementasinya? Dalam film inilah dipertontonkan dialog lugas, kolokial, nan kritis lewat antarkarakter. Beberapa wanita ditawan petugas penjaga keamanan sebelum mereka berhasil menembus masuk stadion (ada yang sudah berhasil masuk namun diciduk belakangan). Set mayoritas berlangsung di area di mana wanita-wanita ini ditawan dan dijaga ketat supaya tak masuk stadion.

Satu lagi bentuk film khas Iran yang sepanjang plot hanya menampilkan kejadian beberapa jam, tak sampai berganti hari, namun tetap padat dan sarat makna. Film ini menunjukkan apa itu dilema, apa itu tugas, dan apa itu kebebasan bertanggung jawab. Semua yang tadinya bisa ditafsirkan bervariasi menjadi tak berkembang hanya dengan batas yang digariskan oleh suatu lembaga yang bernama aturan (baca: negara). Tentu saja, Offside kan berucap c’est la vie! [B+] 11/09/11

Resensi Film: 7 Wanita 7 Dunia 7 Cinta (2010)

Libur lebaran menguntungkan bagi penikmat film domestik. Beragam stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan film-film negeri sendiri. Tak peduli ngepas atau tidak dengan momennya, yang jelas bertujuan menjaring pemirsa lewat slogan pemasaran “tayang perdana”-nya.

Dari sekian banyak judul yang ditawarkan, hanya 1 yang memikat saya yakni 777. Jauh-jauh hari saya pernah membaca resensi film ini lewat tulisan Leila S. Chudori (Tempo), yang cukup membuat saya penasaran dan minat nonton. Berkisahkan tentang seorang dokter kandungan yang menghadapi pasien-pasien loyalnya dengan segambreng kompleksitas. Ada siswi SMP yang takut hamil di luar nikah, ada PSK yang mengambil tes laboratorium, ada pasangan ria yang ingin punya anak, dsb.

Ironisnya dokter perempuan ini belum menikah (dan tentu belum punya anak). Sambil disuguh fragmen kisah subplot yang kocak, teka-teki, dan serius, 777 ternyata berkerangka besar membicarakan pandangan emansipasi dan realitanya. Hal besar yang terakhir ini malah kemudian menjadi monster seram yang menenggelamkan kelucuan dan misteri plot. Jatuh-jatuhnya terkesan Hollywood-ish.

Saya sangat bahagia mengetahui masih ada film-film komersial domestik yang berkualitas, termasuk 777 ini. Betapa tidak? Film ini mampu soroti aktualita sosial lewat bungkus semikarikatural dan “kuliahan”. Secara keseluruhan, saya puas dengan jalinan subplot dalam 777 namun tidak dengan kerangka besarnya (yang membicarakan emansipasi secara vulgar). [B] 11/09/11

Resensi Film: Persepolis (2007)

Terima kasih untuk Metro TV yang dalam acara mingguannya World Cinema memutar Persepolis. Nonton gratis deh jadinya… Kala menonton, saya bersama mas dan ibu. Mas saya syok karena malam-malam kok nayangin film kartun. Saya pun demikian. Berbeda dengan ibu saya yang biasa-biasa saja menanggapinya. Batin saya berkata, pasti ini bukan kartun sembarang cerita.

Benar adanya. Persepolis memang kartun semipolitik nan menggelitik. Sejak awal, desain produksinya menarik. Memang khas film Prancis sih, jadi mungkin jika dibandingkan dengan film-film Prancis ya biasa aja. Format kartun dua dimensi dengan sentuhan sedikit tiga dimensi ini mengisahkan perjalanan intelektual bocah gadis Iran hingga menjadi wanita imigran di benua biru (Eropa).

Ia hidup di lingkungan keluarga progresif alias kontrakonservatif. Dalam film, nampaknya strada memilih jalan hitam-putih untuk menajamkan perbedaan ideologis antara pandangan mikro dan politik negeri Iran yang terlalu digambarkan represif. Keluarga ini secara tak langsung membentuk karakter si bocah gadis ini untuk bermental pemberontak. Menimbang ketidakcocokan situasi negara bagi perkembangan puterinya, maka sang orang tua mengirim si bocah gadis ini hidup di Eropa. Sebuah metafora impian kebebasan. Apakah kebebasan lantas kan didapat?

Yang saya suka dari film ini adalah niatnya yang tak tanggung-tanggung menampilkan kekirian ideologi, lewat beberapa pandangan yang dikemas secara serius dan komedikal. Beberapa adegan imajinatif ekstrem khas bocah cukup menggelikan. Yang saya kurang senangi dari Persepolis adalah tingkat konsistensi plot yang tak terjaga. Awalnya seru, tengahnya luntur, akhirnya pupus. Yah, inilah film dengan keutamaan pikiran. Rasa seakan-akan tak terbelai. Bonus utama dari film ini adalah referensi atmosfer kehidupan sosiopolitik bernegara di daratan eks-Persia. [B-] 11/09/11

Jumat, 09 September 2011

Resensi Film: Spirited Away (2002)

Awalnya saya sudah tahu betul film ini dielu-elukan sebagai karya hampir sempurna hanya dari membaca konsensus resensi kritikus film. Seringnya saya memilih mencibir dulu jika menghadapi film-film yang overrated seperti ini, seperti halnya pada Slumdog Millionaire. Tapi tak sah rasanya kalau belum coba menonton. Untung saja saya mendapatkan file-nya dari sebuah warnet. Simpan di flashdisk, tonton di rumah.

Spirited Away, sebuah kartun Jepang karya strada Hayao Miyazaki yang menurut teman bekebangsaan-Jepang saya memang rajin membuat film-film bermutu dan laku di pasaran. Coba saja Anda lihat prestasi film kartun 2 jam-an ini, hampir semua penghargaan nomine best animated feature dimenangkan olehnya. Ajang-ajang lintas benua lagi. Hebat, bukan? Alkisah ada seorang gadis kecil bernama Ichihiro yang baru saja pindah rumah. Ia berat hati dan murung selama perjalanan menuju kediaman baru di dalam mobil sedan bersama ayah-ibunya. Belum sampai tujuan, tiba-tiba keluarga ini menjumpai dan mampir di lokasi misterius nan menawan. Sebuah bangunan paduan kuil dan benteng dengan interior stasiun yang akan mengantar keluarga ini ke pengalaman magis. Sebuah dunia yang sunyi, indah, memikat, namun mencekam.

Singkat cerita, ayah-ibu Ichihiro (karena kekurangsopanan, ketidaksabaran, dan sedikit unsur ketamakan) berubah menjadi babi. Tinggal Ichihiro yang masih mewujud manusia. Ia panik dan ingin mengembalikan wujud ayah-ibunya ke semula di tengah dunia baru yang begitu janggal itu. Dibantu dengan sosok yang ia percayai, bernama Haku, Ichihiro mulailah berpetualang… Memilih dan menjalani tiap konsekuensi pilihannya.

Saya tak ingat kapan terakhir kali merasa hening dan aneh bercampur takjub, ketika menonton kartun, seperti ini. Spirited Away sarat falsafi dan pekat. Walau cukup panjang untuk ukuran film kartun, film ini melenakan. Bagi saya dongeng Disney pun terasa amatiran disandingkan dengannya. Mungkin banyak pula film kartun Eropa yang cerdas dan kritis, sebutlah amsal Persepolis. Nah, Spirited Away cukup keren. Ia tak menggurui dan tak sok jenius. Padahal di dalamnya bersumber selentingan pendidikan karakter (khusus hal yang satu ini, saya sangat merekomendasikan dunia pendidikan Indonesia bisa berkaca). A beautiful craft of philosophical fantasy. Klasik. [A] 09/09/11

Senin, 05 September 2011

PENAMPILAN SEBAGAI WUJUD IDENTITAS: TINJAUAN HISTORIS

Tulisan ini terpantik oleh salah satu artikel dalam buku suntingan Henk Schulte Nurdholt berjudul Outward Appearances yang ditulis oleh Kees Van Dijk dengan titel Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi. Saya tertarik karena pembahasannya yang inkonvensional dan disampaikan secara santai namun sarat wawasan. Kajian historis di dalamnya berbatasan spasial wilayah Indonesia dengan batasan temporal paralel memanjang sejak era prakolonial hingga Orde Baru.

Interaksi tiga dunia kultural: Pribumi, Barat, dan Muslim
Dinamika interaksi kultural lewat penampilan dipertunjukkan dalam pilihan kelengkapan pakaian, seperti: kerudung, rok panjang, dasi, celana, juga jas setelan gaya Barat. Alasan mengapa masing-masing kelompok sosial memilih kelengkapan tertentu sering tanpa disertai landasan yang jelas. Bisa merupakan sebuah pembeda kawan atau lawan, pun wujud sikap. Pada awal abad ke-20, misalnya, pemakaian celana panjang dibandingkan dengan sarung lantang ditentang oleh banyak Muslim di Indonesia. Mereka juga menolak dasi yang banyak dipakai orang-orang Indonesia progresif. Penutup kepala dan alas kaki tak luput dari pemaknaan simbolistik. Kain dan turban mencerminkan golongan Muslim. Kopiah dan peci hitam merupakan milik gerakan nasionalis. Topi Barat dan topi resmi menjadi representasi hegemoni kolonial. Alas kaki pun demikian, ketika bertelanjang kaki bisa berkonotasi spesifik mewakili dunia pedesaan yang mana di perkotaan banyak warganya memakai sandal, sepatu atau bot.

Kolonial
Sebelum tahun 1900, pilihan gaya penduduk biasa di Hindia-Belanda dibatasi aturan-aturan khusus buatan pemerintah kolonial tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dikenakan. Kelompok sosial yang diperkenankan memakai busana Barat adalah mereka yang dianggap erat dan fungsional kaitannya dengan pemerintah kolonial semisal kaum ningrat dan umat Protestan, selainnya wajib mengenakan pakaian daerah atau pakaian “nasional’ mereka. Pemerintah kolonial juga memanfaatkan busana sebagai media kontrol. Pada tahun 1658, suatu ordonansi dikeluarkan berisi tentang larangan orang Jawa di Batavia berbaur dengan “bangsa-bangsa” Indonesia lainnya. Mereka harus memakai kostum mereka sendiri dan tidak boleh memakai pakaian adat kelompok etnis Indonesia lain. Tujuan pemerintah kolonial menerapkan hal ini supaya mempermudah klasifikasi/pembedaan beragam kelompok etnis dalam fungsi pengawasan. Kenyataan ini baru berangsur berubah sejak demam Politik Etis dalam awal abad ke-20. Para pelopor gerakan nasionalis mulai banyak yang memakai kostum bergaya Barat.

Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, pakaian Barat atau “modern” telah menjadi pakaian umum pria bagi elit politik nasional. Simbol nasionalisme tidak tertanam pada tipe pakaian khusus, melainkan pada peci. Soekarno menceritakan bahwa ia sendirilah yang menganugerahi peci dengan arti khusus, sebagai jembatan diskusi panas antara elit berorientasi Barat dan garda nasionalis. “Kita memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini, sama dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu, asli untuk rakyat kita. […] Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi ini sebagai symbol Indonesia Merdeka” (Adams, 1966: 51—52).

Orde Baru
Soeharto jarang muncul di depan publik mengenakan seragam militer, sesekali memakai kostum Jawa tradisional. Ia lebih memilih mengikuti praktik di masanya yang tergantung pada keadaan, mensyaratkan setelan Barat, celana, dan kemeja batik, atau setelan safari. Pakaian nasional yang didukung dari waktu ke waktu dalam publikasi-publikasi dan pengumuman-pengumuman pemerintah tidak pernah jelas. Faktor ekonomi atau kekayaan menjadi lebih nampak jelas dalam periode ini yang ditandai dengan munculnya kaum orang kaya baru (OKB).