Senin, 30 Mei 2011

Resensi Film: Blue Valentine (2010)

Rambut pirangnya terurai, terlihat lembut dan polos. Kisah cintanya perih. Karakter bernama Cindy yang dimainkan oleh Michelle Williams ini melewati perjalanan cintanya secara melodramatik. Pertama kali bersenggama di usia 13 tahun, sudah sekitar 20-an lelaki pernah menggaulinya dan baru kali ini dia terjebak dalam momok yang bernama “hamil”.

Kondisi itu terjadi ketika ia sedang dalam hubungan cinta bersama dua lelaki yang bertolak belakang. Satunya melankolis penuh intuisi, pihak lainnya seorang pecundang cinta. Tak punya rencana apa yang harus dilakukan dengan kehamilan dan gong hubungan cintanya.

Film dibuka dengan teriakan balita cewek memanggil anjing peliharaannya dalam paparan fotografis syahdu. Gadis cilik naif ini tak kenal mendung yang menggelayuti orang tuanya. Sebuah rentetan masa lalu yang rumit dan kelam. Blue mengisahkan pemulihan hubungan cinta atas pasangan yang sejak muasal dihadapkan pada situasi sulit. Berhasilkah love-restore mereka?

Perlahan demi perlahan kita akan mengetahui apa yang dulunya terjadi dengan Cindy dan pasangannya. Saya suka dengan pengoperasian sinematografi handheld dan penyuntingan plot Blue. Seperti penyandang miopia yang kadang perlu memakai lensa minus untuk melihat benda berjarak jauh. Ketika kita sedang mengerutkan dahi apa yang terjadi dulunya, maka adegan beralih ke masa lampau. Di fase inilah kaca mata berlensa minus dipasang. Semuanya disusun secara kontekstual.

Inilah film intim, mendalam dan dewasa. Fokus sekali terhadap dua karakter utama, yakni Cindy dan pasangannya. Semua pertanyaan bermotif perasaan terpapar secara eksplisit. Hanya saja saking telanjang penjelasannya—di samping banyak juga adegan seks ditampilkan—membuat Blue tampak seperti pengidap paranoid yang melebih-lebihkan hal sepele.

Jadi teringat kembali dengan Revolutionary Road, film perseteruan rumah tangga serupa. Tapi perlu saya tekankan bahwa Road dan Blue bukan macam film penyaji frustrasi pasangan yang sedang dirundung masalah. Blue, dengan segala kerendahan hatinya, mengingatkan kepada kita akan pentingnya berpikir visioner dalam membangun sebuah rumah tangga. Memang sesuatu takkan pernah dikatahui bila tak dicoba dulu. Ingat, tak ada asuransi cinta atau penjamin kelanggengan rumah tangga. [B+] 29/05/11

Resensi Film: True Grit (2010)

Belum lama menonton film western dalam Open Range, kali ini saya disambut satu lagi judul film berlatar sezaman. Digarap oleh Coen Bersaudara (No Country for Old Men), mengesankan film berkualitas sekalipun belum menikmatinya. True memerikan balas dendam gadis berusia 14 tahun atas pembunuhan ayahnya. Ia bertekad bulat menuntaskan niatan lewat tangannya sendiri. Targetnya bak belut yang licin susah ditangkap. Si durjana dikenal telah melakukan banyak kriminalitas, bahkan lintas teritori administratif.

Si gadis membutuhkan detektif sewaan guna membunuh si durjana karena keterbatasannya mengakses dunia kriminal. Terpilihlah seorang marshall tua penyuka wiski berpengalaman luas namun merana dalam kehidupan rumah tangga yang diperankan secara natural oleh Jeff Bridges. Tak dinyana ada seorang lagi yang juga mengejar si durjana, yakni seorang Texas ranger (Matt Damon). Ia telah memburu lama tapi nihil hasil. Selanjutnya mereka bertiga (si gadis, marshall, dan ranger) memulai dan tempuh pasang surut petualangan mencari si durjana.

Gaya penceritaan True Grit mengingatkan saya pada Road to Perdition, mengenang masa lalu dengan pengantar monolog di awal kemudian disambung di belahan akhir. Bagi saya sangat riskan menerapkan metode ini karena bakal kurangi keseruan cerita. Penonton sudah tahu bahwa si pengisah akhirnya hidup/selamat. Tinggal PR-nya saja membuat isian di bagian tengah semenarik mungkin. Jelas Road to Perdition adalah sebuah contoh sukses besar. True Grit tak begitu sukses, menurut saya. Jenuh di pertengahan film, baru mulai “nendang” di rentetan akhir. Terlalu banyak kita dengar ocehan ceramah dari pak tua marshall. Tapi perlu diketahui pula bahwa film ini cukup relijius, tertanda dalam naskahnya bahkan sejak tampilnya kutipan di awal film.

Yang membuat saya takjub dengan film ini adalah hubungan kimiawi segitiga tokoh sentral film. Sangat mengalir dan tak maksa. Ragu, saling sindir, berselisih, dan terikat satu sama lain. Semua menggelinding sebegitu mulusnya. Juga akting secara keseluruhan cukup terbilang sederhana bak tanpa bubuhan make up. Sekalipun ketika adegan si gadis bertatap muka empat mata dengan si durjana terjadi. Menurut saya, Coen Bersaudara di True Grit agak meloyo. Meski demikian, tak berarti karya mereka yang satu ini anemia. [B] 28/05/11

Senin, 23 Mei 2011

Resensi Film: Elephant (2003)

Bercerita tentang kehidupan salah satu sekolah menengah atas di Amerika Serikat dalam suatu hari ketika langit juga awan terlihat wajar dan lumrah. Ada kegiatan di kelas, di perpustakaan, olah raga, menggosip, makan di kantin, berpacaran, dsb. Tanpa disadari di dalam kelumrahan tersebut tercipta interaksi yang mengakibatkan rasa tergoda, kesepian, diacuhkan, dan marah. Bibit laten atas seramnya kulminasi ini kemudian coba Gus Van Sant sampaikan pada “kejutan karamel” di hampir pengujung film. Dari total durasi sekitar 77 menit, 50-an menit berisi multiplot wajar nan santai tanpa diketahui jelas masalahnya. Saya menguap dan hampir selalu menengok jam. Namun saya tahu bahwa strada Gus Van Sant (Milk) pasti akan berbuat sesuatu yang besar di bagian akhir film. Seperti sedang kebosanan berdiri di tengah antrean teller bank, tiba-tiba ruangan disambangi kawanan perampok bersenpi. [B] 22/05/11

Jumat, 20 Mei 2011

Resensi Film: Paris (2009)

Membayangkan sedang berada di tengah kota (yang dibilangnya) teromantis sedunia, city of blinding lights, de-el-el. Duduk di bangku taman atau sekadar berjalan sambil mengamati orang-orang di sekeliling. Itulah film Paris. Kita merasa iri dan memandang orang lain lebih beruntung atau bahkan lebih bahagia dibanding kita. Ups, ini salah satu makna ending yang hendak disampaikan stradanya. Maaf, bagi yang terganggu karena saya lancang melukiskan akhir film. Tapi, Paris bukanlah film pencarian ending. Ia warna pastel dalam sebuah amsal kontras.

Di dalamnya terkisah multikarakter kehidupan kolokial Paris. Ada satu karakter utama yang membuka cerita sekaligus menjadi penutup film. Ia divonis sakit jantung dan menunggu transplantasi, sedang kemungkinan bertahan hidupnya kecil. Lalu disambunglah dengan kisah saudara perempuannya yang bersedia menemani dan mengurus ia sambil membawa ketiga anaknya. Begitulah seterusnya. Kita akan menjumpai karakter-karakter baru yang secara tak jelas nantinya akan berhubungan atau tidak. Setidaknya kalau saya hitung ada lebih dari 5 plot paralel dalam film yang cukup terasa lama ini. Tinjauan sinema saya jatuh kepada Babel, Amores Perros, Crash, juga Paris J’Taime. Bila disandingkan judul-judul yang saya sebut barusan, Paris bakalan menderita jika diperbandingkan. Tenang saja, bukan itulah yang Paris mau.

Satu benang merah yang menurut saya cocok dilayangkan untuk Paris adalah sakit. Semua orang di dalam film itu sedang sakit. Dalam artian tak hanya sebatas sakit secara medis namun juga sakit sosial dan hal-hal tak nyata lainnya. Sebuah ironi dipertontonkan kepada kita. Seolah-olah menunjukkan kepada penonton bahwa itulah Paris. Kalian melihat indahnya dari sudut pandang diorama, tapi inilah kami sewajarnya yang juga memandang rumput tetangga lebih hijau. Beruntunglah bagi siapapun yang pandai bersyukur. [B] 20/05/11

Rabu, 18 Mei 2011

Resensi Film: Zombieland (2009)

Segar dan menyenangkan. Bak diguyur air pas kepanasan sambil mengibas-ibaskan rambut seperti iklan shampoo atau meneguk minuman dingin lalu bersuara “achh….” Ibarat iklan soft drink internasional. Itulah yang saya rasakan setelah menyaksikan Zombieland. Tak sangka judul yang sangat umum dan tak menarik ini memicu kenangan saya sewaktu menonton 28 Days Later dan Kung Fu Hustle. Kombinasi antara selengekan dan serius.

Pada suatu ketika, virus zombie telah menyebar. United State of America menjadi United State of Zombieland. Hanya ada beberapa yang bertahan dari paparan virus tersebut: Colombus, cowok pemalu antisosial yang mau menengok keadaan orang tuanya; Tallahassee, si pembantai zombie yang mencari kue Twinkie persediaan terakhir; dan pasangan kakak-beradik licik yang bertujuan ke taman bermain Pasific Playland. Mereka secara tak sengaja jadi satu regu petualang di tengah ranah penuh zombie.

Sudah lama saya tak nikmati parodi-tak-vulgar. Umumnya parodi benar-benar menyalin-tempel adegan film terkenal dengan modifikasi komedi. Zombieland lebih mirip Kung Fu Hustle yang membuat kita bingung parodi ini maunya melucu atau menyindir. Tegangnya 28 Days Later pun terasa di beberapa sudut adegan film. Yang paling penting adalah skenarionya yang memuat tips atau aturan-aturan bertahan hidup di tengah dominasi zombie. Ide pencantuman aturan itu di layar dan adegan pembukanya cukup keren. Kesan sadis secara keseluruhan malah menjadi flat bak tayangan Opera Van Java.

Inilah versi filmnya Dufan, Ancol. Saya seperti menunggangi wahana-wahana di dalamnya. Ada yang memicu adrenalin seperti di Halilintar, ada yang lamban dan mengantuk seperti di Dunia Boneka, dan ada yang geli seperti di Rumah Miring (maaf kalau ada kesalahan nama, karena sudah lama belum ke Dufan lagi). Adegan final yang memilih set di taman hiburan adalah pilihan tepat target. Zombieland rocks! [B] 18/05/11

Senin, 16 Mei 2011

Resensi Film: The Kids are All Right (2010)

Hei, ini film tentang pasangan lesbi! Bercuplik-cuplik tayang adegan seks tapi malah tak ada yang lesbi. Betul, karena ini film drama kehidupan keluarga bukan film pemuas hasrat lahiriah. Kalau ada tag words untuk film ini pasti diikutsertakan kata “donasi sperma”, karena bermula dari situlah jalinan friksi hidup keluarga lesbi atas sentral subyek film ini menggelinding.

Paul (Mark Ruffalo) tak menyadari setelah 18 tahun berlalu sperma yang didonasikannya ke bank sperma dengan imbalan murah mencari jejak temui dirinya. Dua pemuda (cewek-cowok) diam-diam menemui ayah biologis di luar sepengetahuan kedua orang tua lesbi mereka. Saya suka dengan adegan ekspresi pertama kala mereka bertiga bertemu. Walau tidak close-up namun nampak jelas segitiga aneh, kikuk, atau canggung itu.

Dari titik ini, membuat kita bertanya-tanya mau dibawa kemana plot berada ketika durasi masih terlalu dini untuk sebuah pungkasan. Ternyata Paul-lah yang nanti bakal menjadi disguised interloper. Dia menusuk keharmonisan rumah tangga pasangan lesbi Jules (Julianne Moore yang sayu) dan Nic (Annette Bening yang berpenampilan memukau). Paul menusuk masuk terlalu jauh. Ia tak hanya beri warna namun juga jadi bencana.

Besar dan kompleksnya tema yang dibawakan secara ringan dan sederhana oleh strada Lisa Cholodenko tengah mengingatkan saya pada Juno. Memang semua serasa serba hambar dengan tanpa berfokus pada satu permasalahan. Namun setelah selesai menonton The Kids, saya terpancing memikirkan tingkah-polah manusia yang menyimpang dari pola umum. Serasional dan sematang mungkin perencanaannya, pasti takkan sepadan dengan tanggung jawab yang menghadang di masa mendatang. [B+] 15/05/11

Resensi Film: Paranormal Activity (2009)

Entah dari mana saya harus bercerita. Yang jelas, judul film thriller ini cukup mengejutkan karena berhasil menembus box office Hollywood. Saya menontonnya telat, kala sudah tak gayeng lagi. Sepasang kekasih punya masalah dengan entitas gaib. Yang menjadi biang keroknya adalah si cewek. Bukan karena rumah berhantu, melainkan si makhluk halus selalu terkoneksi dengan si cewek. Seluruh film berkonsep direkam kamera pribadi atas ide si cowok. Mereka coba menyelesaikan masalah dengan cara sendiri. Hampir satu setengah jam kita coba diteror oleh berbagai kemungkinan. Terkesan si strada frustrasi menciptakan satu terobosan besar. Sebuah kisah gelap di September—Oktober 2006, ringkasnya. Bagi saya dengan dibintangi oleh pasangan yang seperti bintang porno, film ini versi tegang lainnya dari film biru. Foreplay nan menjemukan. Buang-buang waktu tapi cukup orisinil. Tak tertarik menilik sekuelnya. [C] 15/05/11

Rabu, 11 Mei 2011

Resensi Film: 127 Hours (2010)

Kenapa 127 jam? Ternyata selama itulah pemanjat berkebangsaan Amerika, Aron Ralston, terjebak di celah tebing cadas saat berpetualang. Tangan kanannya terjepit batu kala terperosok. Ia tak bisa kemana-mana sebelum tangannya bisa terlepas dari batu. Waktu sisa hidup terus menghimpit, sampai akhirnya ia putuskan mengamputasi sendiri tangan kanannya.

Satu lagi judul yang mengingatkan kita akan Cast Away dan Buried. Bedanya di sini cerita survival berdasar kejadian nyata, hasil adaptasi dari buku tulisan pelakunya langsung yang berjudul “Between a Rock and a Hard Place”. Ini jadi salah satu hal yang saya suka, ketika judul film tidak dikopi plek sesuai judul bukunya. Kesan pastilah lain, karena orgasme tekstual dan dwimatra berbeda.

Fokus satu setengah jam pada satu tokoh saja tetap bisa jadi durasi pas jika ditangani strada yang tepat. 127 Hours telah tepat ditangani Danny Boyle, satu nama yang melejit ketika Slumdog Millionaire mengantarkannya sebagai strada terbaik atas film terbaik Oscar--di luar bonus puja-puji para kritikus film. Padahal saya cukup jenuh dengan karyanya yang Sunshine (2007) dan The Beach (2000). Sepertinya kini ia sedang dalam fase merekah.

Penampilan James Franco (Spider Man, Eat Pray Love) mendebarkan. Saya hampir tak percaya sebegitu dahsyatnya pendalaman karakter yang ia bangun. Terlebih lagi ketika ia berteriak minta tolong pasrah sebatang kara di tengah hamparan ngarai cadas. Saya bisa rasakan itu sebagai sebuah pelepasan rasa tanpa harapan. Hanya beberapa alat yang menemani Aron selama terjebak: kamera rekam, kamera foto, botol minum, pisau lipat, dan perlengkapan pendakian lainnya. Ia rekam curahan hatinya lewat kamera. Hari-hari berlalu, angan dan ilusi bercampur aduk. Semua rasa jadi semu. Satu poin menonjol yang bisa saya tangkap dari arah cerita Boyle adalah bagaimanapun nikmatnya kesendirian seseorang tetap saja ia perlu orang lain karena makhluk sosial itu tato fitrah manusia.

Mulai hidangan pembuka, saya langsung sadar bahwa ini film keren. Desain produksinya split penuh warna berisi serba-serbi kehidupan dengan suntingan dan pengambilan gambar yang necis. Seperti kue lapis menu ekstrem. Mmm… memang masih déjà vu atas Slumdog juga di beberapa penggalan adegan, termasuk pada teknik gambar patah-patah--yang entah itu apa nama istilah dalam teknik fotografinya. Cuma saja di sini saya tak terpukau oleh aransemen musik A.R. Rahman. Namun cukup salut dengan olah bebunyiannya dalam menajamkan adegan Aron mengamputasi diri. Pilihan-pilihan lagunya di film ini pun membuat saya tak sangka bahwa ia musisi besar industri Bollywood. 127 Hours membuat saya “tiga-N”: ngeri, ngilu, dan nyeri. [A-] 09/05011

Senin, 09 Mei 2011

Resensi Film: Gone Baby Gone (2007)

Sebuah karya debutan strada aktor Ben Affleck. Diangkat dari novel Dennis Lehane (Shutter Island, Mystic River), berkisah tentang hilangnya bocah cewek puteri dari ibu tunggal tukang konsumsi heroin. Polisi tengah menyelidiki kasus tersebut, namun kemajuan tak kunjung didapat. Kemudian dengan setengah putus asa paman-bibi si bocah meminta pasangan detektif amatir yang tinggal di dalam satu kompleks mereka untuk membantu penyelidikan.

Cerita yang sepintas nampak sederhana ini kian kemari makin merumit. Seperti kebanyakan kisah seri detektif, Gone juga memicu penontonnya terus mengikuti alur dengan menebak siapa tokoh kriminal serta bagaimana caranya. Kalau kita sudah menonton Shutter Island dan Mystic River, dijamin bakal tak asing dengan pola cobaan kesabaran dan pemutarbalikan motif. Ditambah lagi dengan kemampuan Lehane dalam membubuhkan kadar kebatinan, membuat tiap film adaptasi dari novelnya tidak jatuh sebagai tontonan kacangan.

Ben Affleck mengeksekusi Gone tanpa pretensi neko-neko. Tak jadi masalah dan bahkan membuat nyaman penonton, seolah-olah kita duduk manis di atas sofa empuk sambil ngemil dan menebak-nebak plot tanpa dibuat pusing distorsi. Yang paling membuat Ben berhasil dalam Gone bagi saya adalah cara ia sembunyikan adegan-adegan mimik gelagat khas sinetron Indonesia yang menunjukkan identitas sebenarnya. Ini sangat penting dalam film berbumbu investigasi. Sebuah karya perdana yang bisa diperhitungkan. [B] 08/05/11

Rabu, 04 Mei 2011

Resensi Film: Memento (2001)

Tergoda menonton Memento karena cerita dari kawan, penggemar karya Christopher Nolan. Terkisah Leonard—panggilan akrabnya Lenny—berkelainan ingatan. Tak saya sebut penyakit karena tak jelas diagnosisnya. Bukan amnesia. semacam tak punya ingatan jarak pendek, tak bisa mengingat peristiwa yang baru saja berlalu. Ia butuh mencatat supaya bisa ingat. Catatan adalah kompas baginya. Bisa dicatat di selembar kertas, sering pada sebuah lembar foto polaroid hasil jepretannya yang diberi keterangan, hingga berupa tato tubuh.

Lenny punya misi. Ia ingin membalas dendam kematian isteri cantiknya. Tak peduli ia masih ingat jelas atau tidak terhadap bukti-bukti yang berhasil ia kumpulkan, yang penting ia mau lakukan semua petunjuk berdasar hasil catatannya sendiri. Masalahnya apakah semua catatan bisa diandalkan sebagai pengganti memori yang unsurnya tak hanya memuat ihwal rasional melainkan juga emosional.

Dibintangi oleh Guy Pearce, karakter Lenny yang berbadan kurus padat dipenuhi tato tulisan/kalimat menjadi nampak kuat, robotik, dan pas sekali. Menurut saya, begitulah tindak-tanduk manusia jika tak bisa simpan banyak emosi. Asyiknya lagi, petualangan Lenny berkelindan. Banyak bumbu tanda tanya. Bahkan hampir tiap karakter baru yang muncul menyisakan misteri siapa gerangan dia, mau apa dia, dan kawan atau lawankah dia. Ujung-ujungnya bagaimana cerita sebenarnya atas semua hal ini?

Yang paling menarik dari Memento adalah gaya penceritaannya yang backwards seperti gaya moonwalk mundur ala Jacko. Satu adegan tersua, balik ke peristiwa sebelum adegan, mundur lagi ke kejadian sebelumnya, dan seterusnya. Ibarat baca buku dari halaman belakang ke depan, dari akhir ke awal. Saya tak terlalu bingung memahami plotnya meski dengan alur yang tak biasa. Namun perlu diketahui, ada lagi jebakan Nolan di sini. Interpretasi.

Untuk urusan interpretasi sampai-sampai saya berkonsultasi dengan teman yang penggemar Nolan. Nampaknya Nolan ingin memberi keleluasan kepada pemirsa filmnya tentang pilihan mana yang dipilih. Semua punya pertimbangan dan kadang jadi terasa sama-sama kuat. Bagi yang menginginkan kejelasan, penawaran Nolan yang interpretasi terbuka bisa menjadi pengganggu. Walau demikian, sajian serunya cukup mampu mengubur distorsi.

Suka atau tidak, Memento punya gaya akrobatik mengesankan. Ia bukan balon yang umum disukai semua kalangan. Ia adalah Memento, figur Joker bergaya moonwalk. [B+] 03/05/11

Minggu, 01 Mei 2011

Resensi Film: Fair Game (2010)

Naomi Watts dan Sean Penn berperan sebagai pasangan Wilson yang terkait dengan isu besar latar belakang invasi Amerika Serikat ke Irak dalam Perang Teluk jilid II. Mereka dipertemukan oleh strada seri orisinil Bourne, Doug Liman, dalam sebuah cerita ekstraksi atas dua buku: The Politics of Truth karya Joseph Wilson (suami) dan Fair Game dari Valerie Plame (isteri). Masih relevankah isu ini diangkat terus-menerus ketika kita sudah bukan misteri lagi?

Andai saja film ini ada sebelum tahun 2003, pastilah mencengangkan dan meresahkan. Betapa tidak? Karena kita menjadi tahu bagaimana Gedung Putih secara anehnya bisa mengumumkan fakta potensial tanpa sebuah bukti dan berkoordinasi sehat dengan badan intelejennya, CIA. Dalam lingkaran kejadian ini, Valerie (Watts) menjadi agen CIA penyelidik kebenaran proliferasi sedangkan Joe (Penn) merupakan mantan ekspatriat yang direkomendasikan mencari tahu perkembangan hubungan dagang bijih uranium antara Irak dan Niger. Semua tentang memastikan benar-tidakkah rezim Saddam Husein masih gencar kembangkan senjata pemusnah massal.

Selain karena karakternya nyata dan disusun dari buku pelakunya langsung, Fair Game asli dalam hal mempertontonkan keintiman hubungan suami-isteri berprofesi politis ini. Mereka alami naik-turun keharmonisan rumah tangga akibat kerumitan status politik yang masing-masing emban. Mengguncang wacana skala prioritas. Di sini jadi membuat kita berpikir kembali untuk apa dan di mana letak cinta berada.

Bourne-ish sangat terasa dalam film ini meski bukan dalam tataran aksinya, melainkan ketegangan politik berlapis-lapis. Dengan cap penanda waktu, Fair Game menghasilkan karya sejarah bersudut pandang intelejen. [B+] 01/05/11

Resensi Film: Open Range (2003)


Kuartet penggembala liar nomaden menggiring kuda-kuda ternak yang mereka bawa ke prairie demi prairie. Mereka berempat di bawah komando satu bos senior. Tibalah di suatu lokasi ketika mereka mendapat hambatan dari sebuah dusun pimpinan migran Irlandia nan otoriter dan represif. Sekawanan tersebut menjadi target bulan-bulanan atas nama tata sistem pemanfaatan sumber alam ala si bos Irlandia. Mereka dituntut telah melanggar hukum karena membiarkan kuda-kuda ternak gembalaan mereka memakan rerumputan di kawasan bos Irlandia tanpa izin (baca: memberi komisi).

Di luar subplot penghiasnya, itulah plot utama Open Range. Film yang berdurasi 2 jam lebih ini terbilang sangat western. Menampilkan kekhasan dunia koboi berikut kompleksitas polarisasi dalam akar sejarahnya. Berlatar akhir abad ke-19 membuat Open Range aman dan tepat dikreasikan memakai cara-cara sinematik klasik. Memang, terlalu bergaya lama dan kontraproduktif. Namun apa boleh buat karena si strada yang juga merupakan pemeran dalam film, Kevin Costner, menempuh jalan seperti itu. Mengenangkan kembali kepada karya-karya Anthony Mingghela (Cold Mountain).

Sorot kamera ke alam terbuka dalam hamparan kanvas panorama pedesaan Amerika, membuat saya betah menyaksikan film ini walau sejatinya durasi merangkak begitu lamban. Sungguh terlahir sebagai film yang bakal membuat kita berasa bernostalgia dengan judul-judul jadul. Tanpa ekpos kekerasan berlebih, nihil seks berkeringat, dan absen sinematografi manuveristik. Tata fotografi, tata artistik, komposisi musik, dan penulisan naskah bekerja keras membangun kesan anggun itu.

Hanya saja, satu hal negatif yang mencuat setelah menonton Open Range adalah faktor mudah terlupakan. [B] 01/05/11