Minggu, 24 April 2011

Resensi Film: The Company Men (2010)


“In America, we give our lives to our jobs. It’s time to take them back,” tagline The Company Men.

Sampai saat ini ekonomi makro USA masih belum mampu tumbuh, hal ini diperkuat sajian survei potensi gagal bayar utang luar negeri global. Tahun lalu sebuah film berjudul The Company Men diproduksi dengan menyinggung prahara kapital di sebuah perusahaan galangan kapal ternama. Nilai saham terjun bebas, banyak divisi ditutup demi efisiensi. Otomatis, PHK-pun bak tsunami. Sebuah mimpi buruk bagi semua korban PHK.

Film dibangun dari 3 tokoh pilar: (1) Bobby, eksekutif muda bagian pemasaran yang diperankan Ben Affleck; (2) Tommy Lee Jones yang menjadi Gene, salah seorang bos perusahaan; dan (3) Phil, tangan kanan Gene yang dimainkan Chris Cooper. Mereka satu per satu dipecat dari perusahaan yang selama ini menjadi tempat mereka menggali “emas” demi membangun status sosial berkehidupan mewah dan mapan. Apa jadinya bila mendadak saluran pipa utama penghasilan ditutup. Malapetaka rumah tangga jelas menghadang di depan.

Bobby yang sejak pertama berkarier langsung mendapat pekerjaan “berkerah putih” dihadapkan pada identitas baru tanpa martabat dengan menjadi pengangguran berusia 37 tahun yang kesana-kemari menenteng CV mencari posisi lama di tempat baru. Bobby mendapat tes mental melepas gengsi karena hidup terus berjalan meski perkerjaan tak ada. Sedikit demi sedikit barang-barang miliknya dijual. Di fase inilah ia terpaksa berdamai dengan sang kakak ipar—sebuah peran kecil yang dibintangi apik oleh Kevin Costner—yang menawari pekerjaan kasar.

Gene yang memang tengah mengalami kelesuan hubungan rumah tangga jadi semakin yakin mencari biduk baru. Ia yang telah membangun bersama perusahaan sejak dari nol, prihatin dengan kondisi PHK. Dari karakter ini, terdapat pesan tentang bisnis adalah bisnis. Tak peduli etika, yang penting syah. Sedangkan Phil mewakili karakter penuh melodramatik. Sampai-sampai isteri Phil menyuruhnya tetap berlagak seperti masih bekerja walau di luar rumah jelas-jelas tidak ada kerjaan.

The Company Men adalah sebuah refleksi. Ia mengingatkan, tak ada pekerjaan sepele. Pekerjaan kotor dan kasar tetaplah pekerjaan dan tak boleh dilecehkan bahkan dilupakan. Dunia terus berputar dan tak diketahui idealkah sistem yang ada selama ini sampai kita sendiri yang menjadi korban. Cerita dan pesan yang reflektif ini dituturkan secara datar. Beberapa adegan terkesan kaku, merengek-rengek, dan kurang efektif. Musik pengiring di akhir menyudahi film dengan embusan optimisme. Sejak awal saya terpikat dengan sampul film yang cukup elegan, seperti ketika melihat sampul film A Single Man.

Syahdan, ketika saya bekerja di satu perusahaan swasta tak munafik sangat menanti-nanti kecipratan bonus tahunan yang tak jelas aturan mainnya. Film ini menyentil dan menggelitik saya sebab ada kedekatan emosional. Ketika perkerjaan dirasa telah terlalu menguasai kehidupan, tentu jadi saat tepat mengevaluasi diri untuk sebuah resolusi. Saat itu terjadi, The Company Men mewujud sebagai biro konsultasi personalia. [B-] 24/04/11

Resensi Film: The Manchurian Candidate (2004)


Satu film tentang pencucian otak. Melibatkan aktor-aktris papan atas Hollywood, Denzel Washington dan Meryl Streep. Sang sutradara, Jonathan Demme membuat Manchurian berkembang sebagai sebuah drama thriller psikologis linier. Meskipun tidak semisterius karya kesohornya Silence of the Lambs, namun saya sangat menangkap kuat aura tegang penuh tanda tanya di dalamnya.

Manchurian berkutat bahas misteri pengajuan bakal calon (balon) wakil presiden yang merupakan mantan sersan USA dalam Perang Teluk I, juga tak lain putera dari pasangan senator di salah satu partai politik. Keberhasilannya maju sebagai balon sangat mengejutkan karena tidak ada riwayat sepak terjang politis sebelumnya. Ada manuver politis apa gerangan di balik itu? Lewat serangkaian proses, kawan seperjuangan si balon saat perang—yang diperankan Denzel Washington—merasa janggal dengan pergerakan dan perubahan karakter kawan lamanya tersebut. Bermulalah episode investigasi…

Sejujurnya, bagi saya tidak ada yang spesial dalam film ini. Jonathan Demme hampir selalu membawa nuansa kritis dalam karyanya, sekalipun dalam film drama rumah tangga terakhirnya Rachel Getting Married yang sukses menelisik aib keluarga. Satu lagi judul koleksi drama thriller politik yang tidak ada salahnya dicatat sebagai referensi. [B-] 22/04/11

Kamis, 21 April 2011

Resensi Musik: Gorillaz - The Fall (2011)


Kaget. Tiba-tiba saya lihat resensi album baru Gorillaz di metacritic(.com). Belum lama album Plastic Beach rilis, The Fall menyambar estafet talian album Gorillaz. Tak perlu delay, saya gerilya unduh mp3 gratisannya. Maklum karena grup musik karakter yang satu ini masuk personal fav saya. Tapi kenapa Damon Albarn tak kirim sms ke saya dulu untuk rencana rilis album dadakan ini ya? Sebelum dengar album, saya sempatkan simak beberapa resensi kritikus album musik. Konsensus kritik menyatakan campur-baur antara suka dan tidak. Usut punya usut, ternyata album ini dicipta sepanjang tur Gorillaz di USA. Tak heran dari tracklist-nya saja banyak petunjuk berplat USA.

Terdiri dari 15 lagu dalam durasi sekitar 43 menit yang tak jelas juntrungannya dan tumben minim banjir musisi pendukung (additional). Minimalis, tanpa konsep pretensius. Sekadar menuangkan ide dan sensasi selama perjalanan, seperti kala kita memilih memainkan game telepon selular ketimbang melamun atau tidur di dalam bus. Kali ini Albarn memencet gadget musiknya. Entahlah dia suka merek apa, spontan mengingatkan kesukaan saya dulu main-main dengan software Fruity Loops. Tetap saja di album ini Albarn memilih palet bunyi-bunyian ala (alm.) game console Nintendo 8-bit yang selama ini mendominasi tiap album Gorillaz.

The Fall jelas melecehkan pola umum konseptualisasi album musik. Bagaimana tidak? Dengar saja lagu-lagu seperti Revolving Doors dan Hillbilly Man (judul yang puitis ya?), ketika hati sudah keburu hanyut dalam untaian nada melankolis nan syahdu tiba-tiba dicampur dan digenjot dengan denyut hip-hop lawas nan konyol. Seperti pasutri yang sedang asyik “cocok tanam” tiba-tiba dikejutkan si balita karena ngelilir minta susu. Buyar. Bertebaran instrumen elektronik nan imut, santai, kadang kontemplatif, bahkan malas-malasan seperti bangun tidur di dalam The Fall. Pesan moral saya, jangan pernah dengarkan album ini secara serius.

Mahfum bila ada penikmat baru Gorillaz yang akan bilang, “lagu apaan ini?” Memang, banyak lagu Gorillaz tak konvensional. Terlebih dalam The Fall. Meski begitu kalau kita berhasil tarik nada-nada perenungannya pasti akan berasa indah. Tak ada lirik baru dan inspiratif dalam The Fall. Kebanyakan si Albarn masih curhat spiritual dan kesepiannya. Ini terang sekali dalam Amarillo, yang jadi lagu pertama favorit saya di album ini.

Saya tak menyalahkan Albarn kalau saja hasil penjualan album ini merosot. Sebuah konsekuensi yang harus ditanggung bila melihat kondisi: (1) terlalu dekatnya jarak rilis album; (2) keanehan konsep; dan (3) intoleransi terhadap selera pasar. Yang membuat saya sekali lagi acungi jempol pada Albarn adalah acapkali mendengarkan albumnya, baik di Blur maupun di Gorillaz, saya tak pernah menangkap ambisi penaklukan dan pengakuan kemahsyuran—misal: demi mencipta magnum opus, demi mendapat Grammy, demi mendapat rating tinggi, dsb. Dia selalu jujur bermusik. Spesies langka.

Mendadak ingat Oasis yang dulu sempat dilawan-bandingkan dengan Blur oleh masing-masing fans. Nampaknya makin ke sini makin nyata terjawab siapakah yang lebih produktif. [B-] 20/04/11

Resensi Musik: Lady Antebellum - Need you Now (2010)


Sudah lama saya tak dapati alunan pop-country renyah sejak era solo Shania Twain yang seksi, rada nakal, tapi kadang bisa juga tampil anggun atau trio Dixie Chicks dan solo Shawn Calvin yang sekarang “hilang” entah apa kabarnya. Sekelibat saya tertarik menengok siapa saja peraih door prize Grammy tahun 2010. Ada nama Lady Antebellum di sana, yang meraih (kalau tidak salah) dua piala berbentuk miniatur gramofon. Oleh karena sedang cari-cari referensi baru musik, tanpa pikir panjang langsung saja saya libas album Need You Now.

Lagu pembuka yang berjudul sama dengan titel albumnya membuat saya memperhitungkan dan menunggu-nunggu lagu-lagu berikutnya. Sebagai pembuka album, Need You Now sadar betul akan pentingnya fungsi kail terhadap pendengar dalam sebuah sajian berisikan 11 lagu. Need You Now secara sabar mendendangkan kerinduan pada kekasih. Trio yang beranggotakan tunggal cewek ini mengemas album berpola standar selang-seling up-beat ke down-beat dengan porsi lagu bertempo slow lebih banyak. Lagu favorit saya jatuh pada American Honey yang bertengger di urutan ke-3. Mengisahkan betapa damai dan merindunya pada masa-masa kepolosan.

Get caught in the race
Of this crazy life
Tryin' to be everything can make you lose your mind
I just wanna go back in time
To American honey, yea

There's a wild, wild whisper
Blowin' in the wind
Callin' out my name like a long lost friend
Oh I miss those days as the years go by
Oh nothing's sweeter than summertime
And American honey

Jangan khawatir bagi yang doyan suasana riang ala country. Lady Antebellum punya beberapa amunisi, sebutlah: Our Kind of Love, Perfect Day, Love this Pain, Stars Tonight, dan Something ‘Bout A Woman. Saya soroti ajaibnya Love this Pain yang (seperti biasa) mampu membangun tradisi keriangan khas musik country sekalipun untuk lirik–lirik kisah pedih.

Lagu manis yang siap menemani kita di petang hari kala menghilangkan penat ada pada When You Got a Good Thing. Dinyanyikan berduet mesra, mengingatkan kita pada lagu yang didendangkan meledak-ledak oleh pasangan Bryan Adams dan Barbra Streisand – I’ve Finally Found Someone. When You Got a Good Thing merupakan versi kunci rendahnya.

Puas rasanya bisa temukan referensi musik berkualitas lagi setelah cukup lama tak punya pilihan nama-nama baru. Lady Antebellum mengetuk pintu selera klangenan musik saya. Meskipun yang saya dengar kali ini merupakan album kedua mereka yang entahlah bagaimana nasib album perdana mereka. Tapi saya optimistis dengan langkah ke depan Lady Antebellum, dengan catatan jika mereka terus jaga konsistensi musikalitas dan pilihan lirik yang sangat berkarakter Amerika dan tidak melulu cinta seperti dalam album Need You Now ini. [B] 20/04/11

Senin, 11 April 2011

Hari IV: Wat Pho, Wat Arun, National Museum

Pagi terakhir menyisakan rasa berat hati untuk meninggalkan Bangkok, setelah sekian hari bersahabat dengan lingkungan yang unik, berwarna, dan penuh sengatan bau khas masakan babi di sana-sini. Masih ada beberapa rencana utama yang tersisa: Wat Pho (biara Raja Rama I), Wat Arun (biara Raja Rama II), dan National Museum. Perjalanan ke Wat Pho cukup dekat dari area Khao San Road. Kami memilih memakai perahu untuk ke sana ketimbang naik taksi yang berpendingin udara karena sensasi naik perahu lebih mengasyikkan. Dengan hawa yang panas dan bertepatan dengan hari libur nasional, maka kondisi jalanan terasa cukup padat. Setibanya di Wat Pho, kami langsung berkeliling. Dari kunjungan wat yang tengah direnovasi ini kami merasa ada kesamaan di tiap-tiap konstruksi kompleks wat dan mulai terbiasa. Kebetulan waktu itu banyak penganut Buddha yang sedang bersedekah dan berdoa sehingga membuat kompleks ini terlihat cukup ramai. Dalam wat ini kesan pengaruh Cina lewat patung dan desain tamannya sangat kuat. Mengitari kompleks Wat Pho cukup hanya 1 jam karena memang tidak terlalu luas.




Setelah berkeliling Wat Pho, kami menyeberang sungai mencapai Wat Arun. Sewaktu memasuki dermaga ada penjual pakan ikan, untuk memberi makan ikan-ikan di Chao Phraya. Bisa jadi semacam ritual sedekah. Menurut hemat saya, kompleks wat ini semacam “kauman’-nya Bangkok karena di sekelilingnya banyak terdapat pemukiman biarawan. Dari ketinggian bangunan utama Wat Arun, kami bisa melihat keindahan Bangkok beserta Chao Phraya-nya. Sungguh menakjubkan.



Perjalanan terakhir di Bangkok ditutup dengan rencana ke National Museum ditemani teman Thai kami. Kebetulan sekali kami bisa ke sana ketika tiket masuk museum sedang gratis menyambut minggu konservasi budaya Thailand. Namun amat disayangkan tidak bisa berlama-lama keliling dan secara lengkap menikmati museum karena dikejar waktu penerbangan kembali ke Indonesia. Dalam sebuah gedung museum yang kami telusuri didapat perjalanan singkat sejarah Thailand. Mulai dari Kerajaan Sukhothai sampai kekuasaan Raja Rama IX alias terkini, Bhumibol Adulyadej. Mereka menyusunnya secara kronologis dengan selang-seling diorama bersuara. Museumnya tidak terlalu modern, namun cukup nyaman dikunjungi.


Selama berkunjung ke Thailand banyak hal menarik yang saya dapat, baik lewat feel-experience maupun dari dialog bersama teman-teman Thai saya. Kesan monarki di negara modern yang satu ini masih kuat merasuk terbukti dengan dipampangnya foto-foto raja hampir di berbagai sudut kota, terutama di pusat sarana transportasi umum. Bahkan dunia pendidikan pun diwarnai oleh kebesaran kerajaan. Di Indonesia dan di negara-negara Asia Tenggara lain, umumnya wisuda sarjana dalam lingkungan universitas dilakukan oleh ketua majelis atau rektorat dan dekanat, sedangkan di Thailand penobatan dilakukan oleh keluarga kerajaan. Amat disayangkan ketika kami di Bangkok tidak mengalami keadaan ketika segenap warga menghentikan antivitasnya tatkala lagu kebangsaan dikumandangkan. Selain itu, informasi yang saya dapat dari teman Thai pun mengungkapkan bahwa ketika menonton bioskop semua tayangan selalu disertai dengan film penghormatan kepada sang raja. Penonton warga Thai selalu berdiri sejenak menghormati raja mereka ketika tayangan tersebut diputar. Penghormatan lain diwujudkan dalam bentuk penamaan jalan-jalan raya utama dengan nama raja. Tidak sekali pun saya dengar umpatan atau caci-maki terhadap sang raja. Lewat beberapa hari melancong ke Negeri Gajah Putih, saya sangat menikmati segala kekhasan lokal yang ada. Terlepas dari kisah gejolak politik yang ada, Thailand menunjukkan kepada saya bahwa hormat kepada raja (baca: pimpinan) yang baik itu penting.

NB. (baca: tips penting)
Waspadai boarding time setelah melewati imigrasi Suvarnabhumi ketika hendak kembali ke Indonesia karena Suvarnabhumi layaknya mal, bikin lapar mata. Rutenya jauh sekali ke gerbang terdekat. Sekali dengar panggilan penumpang untuk nomor penerbangan kita, langsung saja tancap gas: lari...!!!

Hari III: Ayutthaya, Chao Phraya, & Kehidupan Malam di Bangkok

Tujuan berikutnya adalah Ayutthaya. Kenapa kami memilih kota kecil sebelah utara Bangkok ini ketimbang Teluk Pattaya yang berada si selatan Bangkok? Karena Pattaya merupakan wisata kehidupan malam dengan pemandangan pantai teluk yang tidak begitu kental nuansa historisnya. Untuk wisata kehidupan malam, kita bisa memilih Pat Pong di daerah Silom, pusat kota Bangkok sebagai alternatif pengganti rasa penasaran. Sedangkan untuk wisata pantai, teman Thai saya lebih menyarankan pergi ke tempat yang lebih jauh di bagian selatan Thailand yakni Phuket—yang tentunya tidak bisa dijelajahi dalam kesempatan kali ini—meski Pattaya juga memiliki beberapa pantai indah di Koh Larn, sebuah pulau kecil di seberang teluk.


Untuk meraih Ayutthaya ada banyak pilihan moda transportasi, namun yang umum dipakai pelancong beranggaran rendah adalah kereta ekonomi dari Statiun Utama Hua Lamphong yang mulai beroperasi pada 25 Juni 1916. Konsep bangunannya serupa dengan Stasiun Kota di Jakarta yang memiliki kubah utama berlangit-langit tinggi. Ada tempat pemujaan Buddha di tengah atriumnya. Yang membuat kami “terharu” adalah di sini kita menemukan tempat salat. Orang Thai menyebutnya hong lamard yang lebih kurang berarti ruang/kamar ibadah. Pengalaman ini menambah catatan kejadian-kejadian lainnya bertemu dengan sesama muslim. Yang pertama, ketika paginya kami mengucap “assalamu’alaikum…” kepada penjual berjilbab di food court halal di Khao San Road yang kemudian dijawab disertai senyuman lebar. Yang kedua, kala bertemu ibu paro baya berjilbab yang membantu kami mencari tuk-tuk di Ayutthaya. Dan terakhir, ketika sorenya tiba-tiba seorang pelayan KFC berjilbab langsung menyalami dan menyapa teman saya dari Jakarta yang berjilbab. Ekspresi pelayan yang berjilbab tersebut kepada kami penuh ceria dan ramah. Sebuah sensasi yang membuat saya sangat bersyukur menjadi bagian keluarga besar muslim sedunia.


Pilihan kereta yang tersedia untuk tujuan Ayutthaya hanya kelas tiga atau ekonomi karena rutenya singkat, sekitar 1,5—2 jam dari Hua Lamphong. Jadwal keberangkatan berkala tiap 1—2 jam sekali. Sebagai catatan, di Thailand cukup banyak terdapat pos tourist information jadi cukup membantu kita supaya tidak tersesat. Termasuk di stasiun kuno ini, petugas informasi sangat bersahabat dan membantu kami. Bahkan ada yang (menurut saya) berasal dari daerah selatan Thailand sehingga mengajak kita berbahasa Melayu ketimbang memakai bahasa Inggris. Setelah membeli tiket yang seharga 15 baht/orang, kami menuju ke kereta dengan memilih tempat duduk sendiri karena tidak ada pemesanan khusus. Secara garis besar, kondisi stasiun dan gerbong kereta ekonomi di Hua Lamphong sama dengan di Indonesia. Bedanya, nampak lebih bersih dan tidak terlalu padat yang menyebabkan berebutan tidak karuan.


Setelah menunggu beberapa saat, kereta diberangkatkan. Sama persis dengan teknologi kereta umum di Indonesia. Selama perjalanan kami cukup terhibur dengan “anehnya” orang bercakap dan pedagang keliling menawarkan jualannya dalam bahasa Thai. Bagi saya pribadi, yang satu ini menjadi hal ngangeni. Pemandangan pemukiman sederhana mengarah ke kumuh bisa dijumpai lewat kaca jendela gerbong. Meski sederhana, namun akan banyak dijumpai rumah-rumah tersebut dilengkapi dengan antena TV kabel. Ajaibnya lagi ketika kita melintasi sungai tiba-tiba perahu bermesin melintas. Dan saya lihat saksama, ternyata sungai mereka tidak sejorok sungai-sungai umumnya di Indonesia. Mereka memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi umum yang layak. Ini sejalan dengan rencana kami sore harinya untuk menyusuri Sungai Chao Phraya yang membelah Bangkok.


Tiap stasiun kereta berhenti. Sampai akhirnya samping tempat duduk kami yang sebelumnya kosong diisi oleh pasangan backpacker dari Belanda. Kami berkenalan dan mengobrol santai hingga sampai Stasiun Ayutthaya. Tujuan mereka murni backpacking, dimulai dari Benua Asia (India, Indo-China, Indonesia) sampai Benua Afrika. Senang sekali rasanya bisa menimba banyak informasi dari mereka yang telah melanglang buana. Perjalanan sekitar 2 jam menjadi tidak terasa dan akhirnya sampai di Stasiun Ayutthaya. Tadinya kami sudah bersalaman mengucap berpisah setelah sempat diberi alamat surel oleh pasangan dari Belanda tersebut, namun pengalaman menyatakan lain. Kami bertemu lagi dengan mereka sewaktu berkeliling di Ayutthaya dan di pusat perbelanjaan Mahboon Krong (MBK) Bangkok pada malam harinya secara tidak sengaja. Jadi seharian kami bertemu mereka tiga kali. Sebuah kebetulan yang aneh, lucu, tapi nyata.



Berkeliling Ayutthaya kurang dari 2 jam. Itulah konsep kami sehingga sorenya bisa menikmati Chao Phraya. Kami mendapat carteran tuk-tuk dengan kesepakatan 350 baht sampai kembali ke stasiun lagi. Sebenarnya banyak wat tersebar di Ayutthaya. Maklum, karena kota kecil nan sepi ini dulunya merupakan pusat kerajaan besar Thailand sekitar abad ke-15 setelah kejayaan Sukhotai—yang terletak di kawasan utara Thailand—beberapa abad sebelumnya. Di sini kami dituntut dengan waktu yang ada bisa memilih wat yang paling memungkinkan dikunjungi. Terpilihlah: Wat Lokayasutha (sleeping Buddha), Thanon Si Sanphet (Phra Mongkhon Bophit), Wat Phrasisanpheth, Wat Phra Ram, dan Wat Maha That. Semua wat yang kami kunjungi gratis. Selama perjalanan di atas tuk-tuk pun kami melihat banyak reruntuhan wat dan semacamnya, boleh dibilang Ayutthaya mungkin kota sejuta wat. Di beberapa kompleks wat ada hiburan naik gajah dengan harga yang belum sempat kami tanyakan. Menikmati Ayutthaya kurang dari 2 jam jelas jauh dari kata cukup. Saya sangat menikmati ketenangan Ayutthaya sebagai museum reruntuhan kejayaan kerajaan di masa lampau. Saatnya kami kembali ke Bangkok…


Setelah sampai di Stasiun Hua Lamphong, kami mengisi perut dulu di KFC dalam stasiun. Makan di restoran waralaba ini terdapat jaminan halal. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, kami bertemu dengan sesama muslim lagi. Yang paling unik dari KFC di sini adalah mereka menyediakan air minum (putih) gratis. Sewaktu kami memesan makanan tanpa minuman, kami langsung disodori gelas plastik berisikan es batu. Teman saya memastikan bahwa kami tidak pesan dan bertanya apakah gratis. Mereka menjawabnya gratis dan air putihnya ada di meja saus. Menyenangkan tahu mereka memiliki layanan seperti ini. Perbedaan sederhana tapi melegakan karena konsep free drink ala teh tawar ranah Sunda masih ada di tengah ibukota metropolitan macam Bangkok. Setelah selesai makan, kami langsung mencari tuk-tuk untuk mengantar kami ke dermaga Chao Phraya terdekat.


Satu lagi kejutan dari Bangkok buat saya. Sebuah transportasi umum perahu bermesin (boat) di sungai pembelah Bangkok (timur-barat) sepanjang 372 km dari hulu ke hilir dengan lebar (sepertinya) kurang dari 1 km. Tiket naik perahu hanya 14 baht untuk segala jurusan yang membentang dari utara sampai selatan. Sungai inilah yang dulu menjadi penghubung antara Kerajaan Ayutthaya yang berpusat di pedalaman dengan daerah pesisir. Bahkan setelah Ayutthaya runtuh, pusat ibukota Thailand berpindah ke Thonburi yakni di kawasan sisi barat Chao Praya sedangkan pusat kota Bangkok yang sekarang berada di sebelah timur Chao Phraya. Tak heran bahwa teman Thai saya sempat bilang, pada zaman dahulu kala dalam sejarahnya banyak ilmuwan asing menyebut Bangkok sebagai Venice of Eastern. Bangkok benar-benar memberdayakan sungainya secara arif. Jalur pembuangan rumah tangga pun dipisahkan. Meski tidak bersih, air Chao Phraya masih masuk batas toleransi untuk digunakan sebagai jalur lalu lintas. Jangan heran bahwa pegawai berdasi necis pun tidak “jijik” naik perahu mengantarkan mereka berangkat dan pulang kerja.


Ketersediaan brosur pariwisata Thailand sangat membantu kami dalam menyusuri Chao Phraya via perahu. Dalam brosur tertulis dengan jelas nama-nama jalur dengan ciri bendera beserta nama-nama dermaganya. Tujuan kami dari Dermaga Si Phraya adalah ke Dermaga Phra Arthit. Di sana kami akan menuju Taman Santichaiprakarn. Di tengah perjalanan menuju ke sana, saya sangat menikmati silir angin dan siratan air sungai di atas dek perahu sambil melihat wat yang berdiri di pinggir-pinggir sungai. Petugas tiket memeriksa tiket yang kami bawa hanya dengan menyobeknya. Ketika perahu hendak bersandar navigasi nahkoda mulai bermanuver. Dermaga demi dermaga dilalui, sampailah kami di Phra Arthit yang sebenarnya dekat juga dengan Khao San Road. Kami langsung berjalan ke Santichaiprakarn yang bersebelahan dengan dermaga.


Setibanya di taman, hati saya kembali “iri” dengan Bangkok karena mereka memiliki taman luas yang nyaman nan indah untuk bersantai bersama keluarga atau orang tersayang lainnya. Tepat di samping sungai disediakan banyak tempat duduk dengan pemandangan latar taman yang asri. Tempat berkumpulnya warga Bangkok mulai dari tua sampai muda. Yang hanya ingin sekadar menghirup udara segar atau latihan capoeira. Dari tempat ini pula pemandangan Jembatan Rama VIII yang menjadi kebanggaan baru warga Bangkok nampak sedap dipandang. Seolah-olah membuat saya betah berhari-hari hanya berdiam diri di sana. Permukaan air Chao Praya telah memantulkan cahaya matahari sore berwarna kekuningan, saatnya beranjak dari Santichaiprakarn untuk bertemu teman Thai di pusat kota Bangkok.


Menuju ke pusat bisnis dan perkantoran Bangkok di daerah Siam mengingatkan kembali ke tengah himpitan penumpang dalam perut bus Transjakarta. Infrastruktur Bangkok jauh meninggalkan Jakarta. Mereka telah memiliki BTS dan subway atau MRT, dengan rencana ekstensi yang terus digalakkan. Petang hari di dalam kereta BTS membuat kami mencicipi sibuknya ibukota yang bernama asli superpanjang dan disingkat dengan Krung Thep Mahanakhon ini. Sesampainya di Stasiun Siam, kami disambut dengan dentuman musik enerjik yang terdengar dari pelataran atrium outdoor mal besar Siam Paragon pertanda sedang berlangsungnya acara kaum muda-mudi. Inilah mal terkenal di Bangkok yang terus-menerus melebarkan luasnya dengan memberi nama-nama baru semisal Siam Discovery—seperti yang dilakukan Plaza Indonesia. Jika kita masuk mal ini, maka akan terasa sebagai pusat nongkrong pemuda-pemudi Thailand. Mereka dimanjakan atas gagasan konsep mal ala youngsters yang trendi dan gaul. Dari segi interior ibarat FX Jakarta dalam skala yang jauh lebih besar. Di sini dibuka museum lilin populer kondang Madame Tussauds pertama di Asia Tenggara sejak Desember 2010.




Tidak jauh dari Siam Paragon, kita bisa menemui gedung pameran-seni baru Bangkok Art & Culture Center (BACC) dan pusat perbelanjaan MBK. Kami tidak sempat ke BACC, dan secara arsitektural tidak nampak begitu khas layaknya Esplanade di Singapura. Seperti pemandangan tipikal di Asia Tenggara, BACC terlihat jauh lebih sepi dibanding di area Siam Paragon. Bagi pelancong yang tidak bisa ke Chatuchak weekend market, alternatif utama untuk mencari suvenir khas Bangkok adalah ke MBK. Di sini mal buka hingga pukul 22.00, namun kebanyakan kios sudah tutup pada pukul 20.30. Harga yang ditawarkan cukup terjangkau dan beberapa barang bisa ditawar. Namun, konon apabila pergi ke Bangkok dan ingin menguji kelihaian menawar barang maka Chatuchak-lah “surga”-nya.



Malam makin larut, kami diajak teman-teman Thai ke daerah Silom. Daerah ini dikenal sebagai distrik bisnis sekaligus sentra kehidupan malam Bangkok. Belum ada tanda-tanda aktivitas jalanan daerah ini meredup sekitar pukul 23.00, malahan nampak lebih riuh. Di daerah Silom, kami menelusuri kawasan red district Pat Pong. Ada dua cabang Pat Pong yang masing-masing berupa gang besar. Jika melintasi kawasan ini pasti akan banyak ditawari hal-hal berbau “esek-esek”, mulai dari video porno sampai ping pong show, dan semuanya bisa ditawar. Menarik sekali ketika berjalan di daerah Pat Pong karena di daerah yang penuh pramuria ini kita juga melihat polisi berpatroli. Sepertinya mereka berkeliling menjaga keamanan demi kepentingan bersama. Di Gang Pat Pong I, tepatnya di depan deret bar dan diskotek, berjajar rapi tenda pasar malam yang menjual pernak-pernik sandang sampai suvenir Thailand. Berada di Pat Pong berasa bukan berada di red district karena banyak pula anak kecil bahkan keluarga yang singgah kemari. Sekitar Silom terdapat pula gang khusus gay yang letaknya tidak jauh dari Pat Pong I dan Pat Pong II. Kebetulan kami tidak melaluinya, hanya melihat gangnya dari seberang jalan. Dari seberang sudah nampak neon box dan gambar-gambar yang menjurus ke hal berbau gay.




Pagi dini hari telah lewat, ditemani teman Thai kami kembali ke hostel. Di atas taksi yang melaju kami sempatkan pula untuk menikmati kawasan Wireless Road yang merupakan kawasan termahal di Bangkok, di mana banyak bangunan kedutaan besar berdiri. Arah kembali kami kebetulan melewati Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok. Ternyata gedungnya cukup besar dan bagus. Cukup dekat berseberangan dari gedung tersebut berdiri bangunan tertinggi di Bangkok, Baiyoke Tower (304 m). Bangkok malam hari tidak sebegitu meriah lewat gemerlap lampu gedung-gedung pencakar langitnya, namun kehidupan yang ada di dalamnya membuat kesan meriah jauh melampaui gemerlapnya penghias cakrawala dari beton.

Minggu, 10 April 2011

Hari II: Dusit Palace & Grand Palace

Pagi di Bangkok berasa lebih lambat dibanding pagi di Indonesia. Waktu Subuh berkisar pukul 04.54, secara garis besar waktu salat mundur 30 menit dari WIB. Sama sekali tidak terdengar kumandang adzan karena muslim merupakan minoritas di Thailand (sekitar 94% penganut Buddha Teravada). Jarang sekali tersedia mushola, masjid, dan kedai makanan halal. Butuh penyesuaian khusus bagi pelancong muslim di Thailand. Makanan kemasan yang dijual di minimarket macam 7 Eleven pun sangat jarang ditemui label halal pada kemasan. Namun yang terutama, Thailand memiliki otoritas khusus yang bertanggung jawab untuk memeriksa dan melabeli halal pada suatu produk.


Khao San Road beristirahat di pagi hari, walau tidak benar-benar tidur. Namun denyut aktivitas sudah terasa di beberapa sudut jalan, mulai dari penjual menu sarapan sampai petugas jasa angkut yang menawarkan taksi dan tuk-tuk. Untuk moda transportasi yang terakhir ini sangat sering dijumpai di Bangkok. Mirip dengan bajaj di Jakarta namun mempunyai jok penumpang yang lebih lega dan nyaman. Sering pula kita temui tuk-tuk diisi dengan lebih dari 3 orang backpackers asal Eropa yang mungkin menyewanya supaya bisa berhemat dengan berbagi iuran bersama, mengingat terkadang taksi menolak angkut penumpang bila jarak tujuan terlalu dekat atau daerah yang dilalui macet total. Oleh karena dari pagi hingga sore hari Khao San Road dibuka bebas untuk lalu lintas transportasi, maka polusi dan kesemrawutan pun tidak terhindarkan.


Pagi itu kami tidak begitu kesulitan mendapat menu masakan halal karena seorang teman Thai telah memberitahu kami tempat makan halal di malam sebelumnya. Yang kami ketahui hanya satu tempat saja food court halal di seputaran Khao San Road. Terletak di sebuah gang sempit dengan kebersihan yang kurang terjaga karena kami sempat berpapasan dan melihat tikus besar di mulut gang. Hal ini tidak menyurutkan niat kami bersarapan di sana karena banyak pemandangan yang lebih “mengerikan” di Jakarta dan di Indonesia umumnya. Setelah sampai di dalam food court kami melihat sepuluh pigura gambar menu makanan yang digantung pada dinding. Semua berlabel halal. Ketika memesan, pelayan yang mendatangi kami tidak menguasai bahasa Inggris dan akhirnya lewat penunjukan gambar/nomor yang ada di gambar kami bisa memberitahukan pesanan kepada si pelayan.


Menu sarapan di Thailand umumnya mie atau tom yam, walau begitu tidak sedikit yang biasa mengonsumsi nasi dan roti. Hampir semua masakan yang kami konsumsi memiliki cita rasa asam yang menyertai, termasuk untuk sambal cair dan saus tomat/cabenya. Untuk minuman, menu teh dan jeruk sama dengan di Indonesia yang selalu menjadi andalan tiap kedai makan di samping minuman buah-buahnya. Seperti jamak diketahui bahwa Thailand merupakan sentra penghasil buah, maka akan banyak kita temui menu berbahan dasar buah. Termasuk jajanan khas pasar mereka berupa ketan dicampur buah beserta kuah beraroma yang dijual seharga 30 baht, misal: durian sticky rice dan bermacam menu dengan buah lainnya. Harga jajanan, makanan, dan minuman di Bangkok rata-rata sama dengan di Jakarta.


Rencana pertama kami di hari kedua adalah mengunjungi Grand Palace, yakni kompleks kuil utama Buddha Teravada di Bangkok. Lokasinya tidak jauh dari Khao San Road sehingga memungkinkan hanya berjalan kaki ke sana. Di sepanjang jalan, kami banyak ditawari sopir taksi dan tuk-tuk. Keberadaan mereka terasa tidak terlalu mengganggu karena tidak begitu agresif memaksa dan mengancam. Cuaca di Bangkok kala itu mendung namun terasa hangat sehingga badan lembab berkeringat. Kami menyusuri jalan lewat trotoar yang lega. Aspal jalanan mereka berwarna abu-abu terang, seperti halnya di Malaysia dan di Singapura. Sekilas membuat kesan jalanan nampak bersih dan rapi.


Di sepanjang jalan menuju Grand Palace, saya melihat kepatuhan warga dalam berlalu lintas. Tidak asal menyebrang di luar area zebra cross, kendaraan berhenti sebelum garis zebra cross, walau meski juga terlihat kendaraan umum atau pribadi yang parkir di pinggir jalan. Saya tidak menemukan tiang-tiang CCTV layaknya yang banyak dipasang di jalanan Singapura. Terdapat taman luas di depan kompleks Grand Palace, namun sewaktu kami ke sana taman yang bernama Sanam Luang itu sedang direnovasi guna mempercantik kota. Taman tersebut sebelumnya banyak dihuni para tuna wisma. Di sepanjang trotoar seberang Sanam Luang, ada pula wisata santai memberi makan merpati dengan bangku-bangku taman tersedia di pinggir trotoar.


Belum sampai ke Grand Palace, kami mendapat informasi bahwa kompleks ditutup karena ada upacara keagamaan hingga pukul 13.30. Maka dari itu, kami langsung membuat rencana pengganti dengan menuju area Dusit Palace—kompleks kenegaraan—yang jaraknya cukup jauh ke arah utara Grand Palace. Semula kami berencana naik bus untuk menuju ke Dusit Palace setelah menanyakan jalur bus kepada salah seorang pegawai yang sedang berpapasan dengan kami di trotoar. Dari percakapan ini saya baru mengetahui kalau semua bus kota di Bangkok hanya berhenti di halte dan tidak sembarangan menaik-turunkan penumpang di jalanan. Niat naik bus kota kami urungkan karena susah mencari dan jauhnya halte terdekat dari tempat kami berada.


Kami lanjutkan perjalanan kaki hingga area Democracy Monument untuk memilih naik taksi. Yang menarik dalam perjalanan ini adalah ketika kami melihat jajaran tenda menjual lembaran kertas penuh dengan nomor. Banyak pula pembeli yang menghampiri tenda mereka dengan keramaian ala pasar. Apakah itu gerangan, tanya batin saya. Setelah dilihat-lihat dan dipastikan kepada teman saya, ternyata jajaran tenda tersebut menjual lotere. Di Thailand lotere berstatus legal dan hadiah utamanya berupa uang tunai sekitar 1,2 miliar. Setelah sekali gagal menawar taksi, akhirnya kami mendapat taksi tanpa menggunakan argo dan sistem tawar-menawar di muka. Umumnya taksi enggan mengantar kami ke Dusit Palace karena rutenya melalui daerah macet.


Sampai ke Dusit Palace, kami baru menyadari bahwa kompleks kenegaraan yang dimaksud adalah area mansion dan aula kediaman kerajaan. Dengan berbekal 100 baht kita bisa memasuki kompleks penuh khazanah budaya kerajaan tersebut. Sebenarnya tiket tersebut sudah termasuk dalam paket HTM Grand Palace yang seharga 350 baht, namun karena pagi harinya sedang ditutup maka kami membayar ekstra 100 baht supaya bisa memanfaatkan waktu sembari menanti dibukanya Grand Palace di siang hari. Ada 16 bangunan/area yang bisa kita jelajahi yang umumnya berfungsi sebagai museum dan ruang pameran. Secara garis besar konsep Dusit Palace nampak sbb.,


1) Vimanmek Mansion, kediaman raja berbahan dasar kayu jati terbesar di dunia. Mulai dibangun pada masa Raja Rama V (Chulalongkorn) di tahun 1900 dan diteruskan oleh raja-raja berikutnya. Sekarang berfungsi sebagai museum, di dalamnya terdapat banyak koleksi suvenir dari berbagai negara milik Raja Rama V termasuk foto dan berbagai karya seni kriya. Arsitektur Vimanmek yang memiliki 72 ruangan dengan konstruksi dua sayap yang masing-masing panjangnya 60 meter dengan tinggi 20 meter ini mencirikan pengaruh budaya Barat. Tidak diperbolehkan membawa barang bawaan (termasuk kamera) dan alas kaki ketika memasuki mansion ini. Terdapat tur gratis berbahasa Thai atau bahasa Inggris yang dilangsungkan secara berkala.


2) Museum. Ada banyak bangunan tersebar yang dimanfaatkan sebagai ruang pamer karya seni, a.l. tekstil, kerajinan tangan, jam antik, kereta kerajaan, dsb. Kami tidak berhasil menikmati semuanya karena butuh waktu seharian penuh apabila memasukinya satu per satu. Kami hanya meyusuri museum tekstil yang ternyata berisikan produk karya SUPPORT Foundation milik ratu kerajaan. Karya tertua yang dipamerkan berusia sekitar 120 tahun yang lalu dan kebanyakan merupakan kain brokat sutera, baik yang dikerjakan di Thailand maupun dari negeri lain seperti India, Cina, Kamboja, dan Laos.


3) Ananda Samakhom Throne Hall, merupakan aula tempat pemahkotaan raja Thailand yang selesai dibangun pada tahun 1915 atau pada masa Raja Rama VI. Pembangunan membutuhkan waktu 8 tahun dengan total anggaran 15 juta baht. Arsitekturnya mengadaptasi dari konsep Renaissance Italia dan gaya Neo-Klasik.


Sebenarnya sangat sayang tidak bisa menikmati Dusit Palace secara tuntas, namun masih banyak rencana perjalanan yang menunggu untuk dijelajah. Walau belum puas berkeliling di Dusit Palace, kami memastikan diri untuk segera menuju ke Grand Palace. Kali ini untuk pertama kalinya kami mengendarai tuk-tuk. Jalannya cepat, seperti terburu-buru dengan hempasan yang terasa kasar setiap kali berbelok dan anginnya pun berhembus kencang karena tutup jok hanya berupa kanopi.


Akhirnya kami bisa masuk ke Grand Palace setelah membeli tiket. Selain fasilitas bebas masuk ke Dusit Palace, tiket seharga 350 baht tersebut juga termasuk freepass ke Pavilion Regalia (Royal Decorations & Coins). Saat kami ke Grand Palace suasana sangat ramai pengunjung dan cuaca sungguh teriknya. Tidak ada penyewaan payung di sini, namun ada fasilitas air keran siap minum di dalam kompleks. Maklumlah jika pengunjungnya padat karena Grand Palace merupakan ikon dan tujuan utama wisata di Bangkok. Kompleks ini dibangun tahun 1782, berisikan: kediaman raja, tempat pemahkotaan raja, kantor pemerintahan, kuil utama Emerald Buddha (Thai: Wat Phra Kaew), dan museum. Luasnya mencapai 218.000 m2, dikelilingi empat tembok besar yang menyerupai benteng. Di dalam kompleks ini kita akan menjumpai dua kepentingan: (1) beribadah bagi penganut Buddha dan (2) berwisata bagi para pelancong. Bagi wisatawan, tidak diperbolehkan berfoto ria di dalam bangunan ibadah/wat. Mereka dipersilakan masuk namun dengan catatan berpakaian sopan, melepas alas kaki dan topi, serta tidak berisik. Pada saat kami berada di sana banyak sekali dijumpai monk atau biarawan cilik dan dewasa karena memang bersamaan dengan penyelenggaraan acara keagaaman.


Seperti konsep relief kompleks candi di Pulau Jawa pada umumnya, Grand Palace juga menorehkan kisah Ramayana di tembok yang mengelilingi wat. Bukan suatu pahatan arca batu di sini, melainkan goresan lukisan. Terdapat pula maket/model Ankor Wat (Kamboja) yang berusia lebih tua dibanding Wat Phra Kaew di Grand Palace. Tidak heran jadinya apabila kita sadari ada kemiripan pola konstruksi antara Grand Palace dan Ankor Wat. Apabila dilihat pada saat yang tepat dan dari sisi kejauhan, bangunan keseluruhan Grand Palace akan nampak berkilauan diterpa cahaya matahari karena ornamen yang menempel pada tiap-tiap bangunannya warna-warni memantulkan cahaya. Di setiap bangunan kerajaan dalam Grand Palace akan kita lihat prajurit sedang menjaga pos pintu masuk. Banyak wisatawan berfoto ria bersama prajurit yang sedang bertugas itu. Berkunjung ke Grand Palace jelas membutuhkan banyak waktu karena luasnya kompleks. Ketika hari menjelang sore, kami memutuskan kembali ke Khao San Road untuk beristirahat karena harus menyimpan energi menjelang rencana-rencana berikutnya. Tentu sambil mengisi waktu dengan mengobrol bersama teman Thai lagi.

Hari I: Suvarnabhumi & Khao San Road

Setelah sekitar 4 jam lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Indonesia (Soetta) akhirnya pesawat mendarat mulus di Bangkok, Thailand. Sesampainya di Thailand saya disambut oleh sebuah bangunan bandara kelas internasional yang luas, megah, bersih, dan terang. Namanya Suvarnabhumi, dibaca “suwarnabum” terkait transliterasi dari bahasa Pali—bahasa yang dipakai resmi di Thailand—ke bahasa Latin. Sebuah perbedaan yang ekstrem bila dibandingkan dengan pemandangan di Soetta. Menurut informasi yang saya dapat, Suvarnabhumi merupakan bandara kedua terbesar berkonsep terminal tunggal di dunia setelah bandara internasional di Hongkong. Sebelumnya Thailand telah memiliki Bandara Internasional Don Mueang yang terletak di sebelah utara Bangkok. Namun guna memenuhi rencana strategi pembangunan negara, maka dibangunlah Suvarnabhumi yang mulai beroperasi sekitar tahun 2006.


Perjalanan dari concord gerbang pintu pesawat ke imigrasi cukup jauh. Terdapat fasilitas travelator di sepanjang jalan. Sesampainya di bagian imigrasi, loket-loket yang dibuka relatif banyak dengan tipikal pembagian antara pemegang paspor lokal (Thailand) dan paspor asing (foreigner). Bisa jadi karena Suvarnabhumi merupakan salah satu bandara sibuk di Asia Tenggara bahkan di dunia sehingga jumlah loket dan petugas imigrasinya jauh lebih banyak dibanding yang dimiliki Soetta. Pelayanannya cepat, meski tidak sekhas pelayanan prima di supermarket yang dituntut penuh dengan senyum, salam, dan sapa. Beberapa petugas mengenakan masker, mungkin sebagai tanda sedang tidak fit. Tidak ada dialog di imigrasi saat saya menyodorkan paspor dan tiket kembali ke Indonesia. Kecuali saat saya praktik mengucapkan “khop khun krub” (Ina: terima kasih) kepada petugas. Puas rasanya karena setelah itu saya mendapat jawaban dari si petugas. Hal ini berbeda sekali dengan kasus ketika saya bersama teman-teman melewati imigrasi di crossborder darat (via bus) di Singapura dari Malaysia. Pada kesempatan itu teman saya sempat diwawancarai dulu oleh petugas imigrasi ihwal tujuan, jaminan tinggal, dan kepastian kembali ke negara asal. Setelah melewati imigrasi di Suvarnabhumi, akan kita dapati pusat bagasi dengan beberapa kios money changer tersebar di sekitarnya.


Dari Suvarnabhumi banyak alternatif transportasi umum yang bisa dipilih untuk menuju pusat kota Bangkok sejarak 28 km: (1) taksi; (2) bus ekspres bandara; (3) bus umum; dan (4) kereta ekspres bandara/airport rail link. Setelah memelajari informasi dari beberapa blog backpacking, saya dan teman saya memutuskan memilih sarana transportasi yang terakhir karena selain hemat, kereta ekspres ini juga tepat waktu. Tujuan kami adalah stasiun terakhir (Phaya Thai) yang masih agak jauh dari daerah penginapan terkenal bagi backpackers di Thailand, yakni Khao San Road (Thai: Thanon Khao San). Dialog pertama kami dengan orang Thai secara langsung terjadi ketika menanyakan arah menuju stasiun. Kesan awal dalam benak saya adalah ternyata tidak banyak yang menguasai bahasa Inggris. Kalaupun ada terkadang susah dimengerti karena bahasa Thai layaknya bahasa Mandarin yang memiliki tonasi. Setahu saya ada lima tonasi dalam bahasa Thai dan apabila kita mengucapkan datar-datar saja mungkin lawan bicara tidak paham dan hal ini sangat berpengaruh ketika mereka berbahasa Inggris. Tonasi dan logat mereka masih kental kala berucap bahasa Inggris. Kami harus benar-benar memahami konteks dulu sehingga mempermudah jalinan komunikasi.


Sesampai di stasiun Suvarnabhumi (SA City Line) yang terletak di lantai bawah, kami langsung membeli tiket ke Phaya Thai seharga 45 baht (kurs awal April 2011: Rp300,00). Tiket yang berupa koin plastik berwarna merah tersebut bisa dibeli dengan memasukkan uang logam lewat mesin yang tersedia. Koin tersebut berfungsi membuka portal gerbang lewat. Mekanismenya, koin ditempel ke layar sentuh ketika masuk stasiun dan memasukkannya ketika keluar dari stasiun tujuan. Tidak lupa di area mesin tiket tersebut kami mengambil brosur-brosur pariwisata Thailand yang disediakan gratis, lengkap dengan peta kota juga detail tujuan wisata beserta keterangannya.


Tidak lama setelah melewati portal masuk stasiun, kami mendengar paging bahwa kereta akan segera tiba di stasiun dan siap memberangkatkan penumpang sebentar lagi. Memang benar adanya, 3-5 menit kemudian kereta ekspres itu tiba dan setelah penumpang tujuan Suvarnabhumi turun kami segera memasukinya. Kondisi kereta mirip LRT (light rail transit) dan monorail milik Malaysia atau MRT (mass rapid transportation) di Singapura. Bahkan waktu itu saya merasa suspensinya lebih mulus, bisa jadi karena kondisinya masih relatif baru. Dari brosur yang saya pegang, SA City Line memiliki 5 kereta dengan masing-masing mempunyai 3 gerbong bermuatan total 745 penumpang per kereta dan beroperasi pukul 06.00—24.00 (waktu Bangkok sama dengan Waktu Indonesia bagian Barat/WIB). Setelah 30 menit perjalanan yang nyaman bersama SA City Line, akhirnya kami sampai ke Phaya Thai.

Mulai lagi kami berkomunikasi dengan orang Thai, khususnya dengan sopir taksi, karena kami hendak memakai jasa taksi untuk ke Khao San Road. Sebelumnya kami tanyakan dulu kepada pegawai stasiun ihwal taksi mana yang bagus dan di mana kami bisa menunggu taksi. Entah karena mengetahui bahwa kami merupakan pelancong atau karena faktor lainnya, kebanyakan taksi tidak mau memakai argo sehingga harus tawar menawar dulu sebelum sepakat. Ada dua alternatif media yang bisa digunakan untuk tawar menawar: (1) coba berbahasa Thai; atau (2) menggunakan kalkulator. Lagi-lagi di sini saya mendapat kesan bahwa sedikit sopir taksi yang menguasai bahasa Inggris. Setelah mendapat taksi dengan harga yang disepakati, segera kami diantar ke Khao San Road.

Dalam perjalanan, saya melihat dan menikmati suasana Bangkok di malam hari sekitar pukul 21.00—22.00. Jalanan masih cukup ramai, tidak macet. Di beberapa pinggir jalan nampak aktivitas dagang pasar sektor informal, termasuk jualan buah-buahan. Hampir mirip dengan atmosfer di Indonesia, khususnya Jakarta. Lampu lalu lintas umumnya dilengkapi dengan indikator hitungan mundur, kabel-kabel listrik pun membentang cukup semrawut. Bedanya, di Bangkok kita bisa melihat banyak lintasan beton BTS (Bangkok Train Sky). Trotoar masih terjaga dan nyaman bagi pejalan kaki dan beberapa ekor anjing sering berseliweran di trotoar. Di jalanan Bangkok terasa lebih banyak mobil daripada sepeda motor, jarang terdengar klakson membabi-buta khas Jakarta, serta bangunan kuil tersebar di mana-mana di tengah dominasi ruko kuno khas pecinan. Tentu saja hal lain yang paling membedakan adalah pemakaian jenis tulisan. Penulisan akson Thai diterapkan secara luas, terdapat beberapa yang beraksara latin namun jarang, dan hanya sedikit sudut yang berbahasa Inggris.

Kami turun di Kantor Polisi Chanasongkram di Khao San Road sembari menunggu jemputan teman-teman Thai yang merupakan rekan kami sewaktu kuliah singkat dalam Asian Emporiums Course di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, tahun 2007. Kesan pertama saya terhadap area Khao San Road adalah percampuran antara sudut Legian, Bali dan sudut Prawirotaman, Jogja. Untuk Legian jelas karena faktor hiruk pikuk dan kepadatan bule-nya, sedang untuk Prawirotaman dari sisi penginapannya. Banyak backpackers berkumpul di sini untuk menginap, bersantai ria, belanja, makan, bersenang-senang, dan hal-hal khas melancong lainnya. Saya sempat dihampiri oleh seorang bule paro baya karena terlihat celingukan. Setelah mengobrol sebentar, ujung-ujungnya bule asal Austria bernama Edwin tersebut menawarkan/jualan buku terjemahan. Dari sini saya tambah kuat berpikir bahwa Khao San benar-benar tempat terkenal bagi pelancong beranggaran rendah. Tidak lengkap rasanya menjadi backpacker di Bangkok jika tidak menikmati Khao San Road.


Supaya mudah berkomunikasi dengan teman Thai, saya mencari toko penjual kartu SIM. Toko pertama yang saya coba adalah 7 Eleven, sebuah waralaba minimarket terkemuka di dunia yang berbasis di Amerika Serikat. Di Malaysia dan Singapura minimarket ini juga populer seperti halnya Indomaret di Indonesia. Konsep mereka buka 24 jam nonstop. Di minimarket ini cukup banyak yang dijual bahkan bisa dibilang lengkap untuk kebutuhan turis. Dari transaksi di toko ini saya mulai melihat Thailand termasuk negara yang cukup menghargai uang dilihat dari cara mereka menyimpan dan memperlakukan baht. Tidak seperti di Indonesia yang banyak sekali dijumpai rupiah dalam keadaan kumal, sobek, dicoret-coret, bahkan diplester.

Setelah bisa berkomunikasi dengan teman Thai secara langsung, kami pun berhasil bertemu di kantor polisi dan spontan reaksi reuni berjalan. Kami lalu melanjutkan acara dengan mencari penginapan murah. Saya dan teman dari Jakarta sengaja sepakat untuk mandiri di Bangkok supaya lebih leluasa dalam menjelajah, meski teman Thai menawarkan akomodasi. Satu per satu hostel, guesthouse, dan semacamnya kami singgahi namun susah mencari yang cocok karena beberapa faktor, seperti: penuh, harga, dan tipe kamar mandi (shared/bersama). Lebih dari sejam kami mencari dan tidak kunjung mendapat yang diharapkan.

Dalam perjalanan tersebut kami jumpai pula beberapa tunawisma yang mengemis di trotoar. Kata seorang teman Thai, hal itu masih menjadi pekerjaan rumah negara di samping pengendalian hal eksternal lain yang masih juga mengancam yakni imigran dari negeri tetangga. Mereka datang ke Bangkok guna mencari nafkah meski tanpa memiliki tujuan pekerjaan dan tempat tinggal yang jelas. Dari sudut pandang pribadi, saya melihat pemandangan kesenjangan sosial semacam ini masih lebih kentara di Indonesia yang hingga kolong-kolong jembatan layang pun sesak dibuat pemukiman semipermanen warga tuna wisma.

Setelah lama tidak mendapat penginapan, saya tengok kembali catatan penginapan yang pernah saya buat dari hasil googling. Muncul satu nama hostel, Marcopolo, yang terletak di cabang gang Khao San Road. Teman Thai saya kemudian mengontak hotel tersebut dan ternyata masih ada cukup kamar untuk disewa. Kami segera meluncur ke sana dan setuju untuk tinggal di sana selama di Bangkok. Harga yang ditawarkan sangat layak, hanya 350 baht/malam, dengan fasilitas single bed, kamar mandi dalam, dan pendingin ruangan yang cukup menyejukkan. Hal ini membuat saya kagum dengan inisiatif warga Bangkok mengantisipasi hasrat akomodasi pelancong. Saya sempat bertanya ke teman saya yang dari Jakarta, pernahkah menemui penginapan dengan harga dan fasilitas serupa di Jakarta atau di kota-kota Indonesia lainnya? Tidak pernah, jawabnya.


Rasa capek dalam perjalanan kesana-kemari sambil memanggul tas ransel menjadi tidak terasa karena kami asyik mengobrol sembari jalan dan menikmati suasana seputaran Khao San Road yang sungguh happening di malam hari. Seolah-olah kawasan ini tidak pernah tidur. Sajian musik akustik dan hentakan musik elektronik bersahut-sahutan di tengah deretan tempat makan, money changer, kios Thai massage, penjaja suvenir, dsb. Menjelang malam hari kawasan ini makin ramai nan menjelma menjadi kawasan pedestrian gemerlap penuh hingar-bingar karena ditutup bagi lalu-lalang kendaraan.

Pada hari pertama di Thailand saya terkesan dengan keterbukaan masyarakat Thailand, khususnya di Bangkok. Membuat saya berpikir lagi tentang keterkaitan sejarah dengan mentalitas di luar konteks kebijakan revolusioner. Memang ada tepatnya jika ada perbedaan antara mentalitas bangsa yang sudah pernah dan belum dijajah, baik bentuk imperialisme maupun kolonialisme. Dan hal ini diperkuat lagi dengan pernyataan teman saya di hari menjelang kembali ke Indonesia. Dia berucap, “walau cuaca panas seperti ini, mereka tidak kelihatan emosi ya.”