Minggu, 27 Februari 2011

Resensi Film: Buried (2010)



Pasca 9/11 berikut rentetan peristiwa pengiringnya banyak mengilhami kreasi film-film bertemakan terorisme kontemporer. Semua coba menggugah humanisme penikmatnya. Tapi dasar dunia kadung edan, semua sudah imun sindiran dan terasa bak hiburan afektif saja. Buat kita yang masih tak terjerembab jadi muka badak mari kita maknai semua film-film itu minimal sebagai perisai. Masih ingat Babel dengan sentimen stereotipnya? Crash meraung-raung dengan multiplot rasial yang juga nyerempet terorisme? Hingga karya Bollywood berbintang Kajol-Khan My Name is Khan.

Di antara judul di atas, bisa jadi buah tangan Rodrigo Cortez bertajuk Buried adalah karya berbau efek-terorisme tereksperimental. Buried mengubur harapan happy ending nan melegakan. Nyesek. Sepanjang film pemeran utamanya Paul Conroy (Ryan Renolds) sebatang kara coba selamatkan diri dari peti mati yang terpendam. Melihat Cast Away-nya Tom Hanks saja sudah sedikit traumatik apalagi ini yang gelap, sendiri, sumpek, pengap, dan gelisah menghadapi kematian. Paul hanya ditemani ponsel, korek gas, pisau lipat, bolpen, dan beberapa barang kecil lainnya yang sengaja disiapkan oleh penyekap Paul. Satu-satunya yang menghubungkan Paul dengan dunia luar adalah ponsel. Lewat alat ini pula ia tahu bahwa sedang disekap dan dijadikan umpan tebusan terhadap USA yang sedang menginvasi Irak.

Yang jadi fokus berikutnya adalah berhasilkah Paul lolos dari sekapan kubur ini? Bisakah ia ditemukan regu penyelamat? Tonton sendiri jika tak mau rugi. Saya jamin Anda tak akan bosan mengikuti jalan ceritanya walau set hanya di dalam peti berukuran sekitar 1X2 M melulu dengan satu pemeran utama saja. Buat yang ingin nonton film tegang dengan gimmick ala cakar-cakaran Jupe vs Perssik saya imbau tak perlu melirik Buried. [B] 26/02/11

Kamis, 17 Februari 2011

Resensi: A Walk to Remember (2002)


Seorang siswa keren dari grup gaul sekolah tak sengaja mencelakai seorang calon anggota grup. Akibatnya ia harus menanggung beberapa hukuman sekolah. Satu sanksi di antaranya memaksa ia berkenalan lebih dekat dengan siswi alim, sederhana, dan tak gaul, yang biasa menjadi sasaran ledekan anggota grupnya. Tak disangka lambat laun si siswi mengubah kepribadian si siswa. Mereka pun saling jatuh cinta. Yang mengenaskan ternyata si siswi mengidap kanker. Hidupnya tak lama lagi. Pasangan ini lalu lengkapi semua cita-cita cinta dalam jalinan kisah kasih yang tersisa.

Saya menyimpan file film ini sebagai tanda penasaran atas rekomendasi beberapa teman. Setelah saya menontonnya, didapat sebuah kisah menye-menye overtragedi dari skenario kelas sinetron. Mengingatkan kita pada kisah-kisah drama film Indonesia era 80-an hingga 90-an, mungkin, yang dibintangi Widyawati atau Rano Karno. Saya melihatnya lebih seperti itu. Biar penonton makin iba dan terkuras emosinya maka cobaan datang maha dahsyatnya. Dari benci ke rindu. Semua dibalut dengan kemasan perubahan kepribadian.

Dalam film ini, penyanyi pop cantik Mandy Moore menjelma sebagai barbie lusuh pemendam sakit akut yang menanti sebuah keajaiban. Barbie yang emoh berzina. Maunya berdansa dan dikecup. Ah, tak ada yang greng jadinya sepanjang film.

Untung durasi hanya 1 jam 40-an menit. Bila lebih maka film ini takkkan termaafkan. Terlalu banyak musik seliweran tak jelas, walau beberapa menarik juga (sebutlah New Radicals, Switchfoot) meski tak kena konteks. A Walk to Remember cocok untuk gala sinema drama khas layar kaca, bukan sebagai film tayangan bioskop. Saya salah masuk kamar pas kali ini. [C-] 15/02/11

Rabu, 16 Februari 2011

Resensi: The Social Network (2010)


Social Network merupakan salah satu film buah bibir overrated di tahun 2010. Situs web sensus skor kritik Amerika metacritic.com memberi nilai di atas 90 dari skala 100. Sebuah prestasi yang jarang diperoleh film-film produksi tahun 2010. Piala Golden Globe kategori film drama terbaik sudah diraihnya. Tinggal menunggu hasil puncak perhelatan kemilau Oscar 27 Februari 2011 mendatang untuk mengetahui akankah film tentang jejaring sosial popular ini akan memantapkan diri sebagai film terbaik lagi.

Mulai adegan pembuka Social Network mengisyaratkan bahwa dia bukan film main-main. Mark Zuckerberg (pencetus facebook) berbincang tajam dengan pacarnya di dalam sebuah bar. Memperbincangkan banyak hal prinsipil yang berujung pada keretakan hubungan keduanya. Zuckerberg yang seorang mahasiswa jenius bidang informatika lalu pulang dengan melampiaskan amarahnya lewat pembuatan situs sosial main-main buat kalangan internal mahasiswa Harvard, alhasil situs ini diminati seabrek mahasiswa dalam waktu sekejap.

Bakat emas Zuckerberg diendus Winklevoss bersaudara yang mahasiswa Harvard juga. Kembar dari anak konglomerat ini mempunyai ide pengembangan situs web jejaring sosial bernama Harvard Connection, yang belakangan dianggap sebagai cikal bakal ide facebook. Zuckerberg setuju bergabung dengan tim mereka. Namun tiba-tiba muncul situs jejaring atas nama Zuckerberg yang ide dasarnya diaku mirip Harvard Connection oleh Winklevoss bersaudara dengan tanpa mengatasnakaman mereka. Lewat beberapa perdebatan dan pertimbangan yang panjang, Winklevoss bersaudara pun mengajukan tuntutan terhadap Zuckerberg atas dalih pencurian ide atau hak intelektual.

Proses persidangan menjadi inti plot Social Network. Zuckerberg dituntut oleh dua kubu: Winklevoss bersaudara dan rekan chief financial excecutive (CFO)-nya Eduardo Saverin yang merasa telah dikhianati. Cara mengupas kebenaran yang netral dari perdebatan dalam sidang membuat Social Network semakin menarik diikuti. Dia tidak hanya memojokkan Zuckerberg namun juga melampirkan hal-hal yang mendasari semuanya. Berimbang.

Cinta, kawan, dan lawan menjadi pilar utama skenario implisit Social Network. Setiap kata dari pemeran Zuckerberg menjadi terasa sarkas dan pedih ketika kita lihat mimik keras dan apatis yang menyertainya. Salut buat Jesse Eisenberg. Anda akan semakin gemas dengan aktingnya hingga melihat ekspresi di pungkasan film yang seharusnya membuat dia tampak menyedihkan. Meski buat saya pribadi Social Network bukan film terbaik tahun 2010, namun lewat isu dan pesan yang diangkat film ini patut dinobatkan sebagai movie of the year. [A-] 15/02/11

Senin, 14 Februari 2011

Resensi: The King's Speech (2010)


Sudah setahun lebih saya tak temukan film berskor A. King’s Speech cum laude! Film ini meneruskan kegemilangan beberapa film-film pendahulu berset monarki Inggris seperti The Queen dan Elizabeth. Yang membuat saya heran, ada-ada saja dan ternyata masih banyak ceruk Kerajaan Britania Raya yang bisa diobok-obok. Nah, kali ini King’s Speech berceritera lewat tokoh raja gagap George VI.

Duke of York atau Bertie (panggilan akrab George VI) menjadi penerus George V setelah kakak kandungnya (David) melepas mahkota raja karena lebih memilih menikahi kekasihnya yang dalam sistem monarki Inggris tidak boleh dinikahi oleh raja. Lantas apa masalahnya? Sejak awal film dikisahkan Bertie gagap, terutama saat berpidato. Isteri Bertie yang dimainkan secara natural oleh Helena Bonham Carter selalu berada di sampingnya mendukung dan menguatkan, hingga mencarikan terapis pidato. Banyak terapis yang gagal menyembuhkan Bertie hingga pada saatnya menemukan Lionel Logue yang diperankan secara meyakinkan oleh Geoffrey Rush.

Jangan dikira adegan demi adegan King’s Speech sorot sesi terapi Bertie melulu. Ranjau-ranjau kecil tersebar di setiap adegan. Hubungan antara sang raja dan si terapis pun tak selalu berjalan mulus. Terjalin simbiosis mutualisme di antara keduanya yang lucu tapi jujur nan tulus. Semua ini ditawarkan kepada pemirsanya dengan sinematografi yang rapi, menawan, dan elegan. Musik anggun iringan Desplat pun terasa memadu syahdu dalam tiap bingkainya.

Adalah Colin Firth si penghidup karakter Bertie. Untuk tampilan riil, ada beberapa adegan Firth nampak bukannya gagap malahan seperti mual. Tapi secara keseluruhan saya pikir pantas mengantarkan Firth ke podium Oscar. Dan tentu saja, akting Geoffrey Rush dalam film ini menjadi penyeimbang yang sempurna. Tanpa andil Rush saya meragukan hubungan sang raja dengan si terapis bisa tampil sebegitu intim.

Tom Hooper dengan direksi yang jelas telah mengemas King’s Speech sebagai sebuah film persahabatan abadi yang indah. Tepat mengena di jiwa. Biarkan King’s Speech berputar dan kita akan tahu betapa berharganya setiap kekurangan dalam diri. [A] -12/02/11-

Resensi: V for Vendetta (2006)


Diangkat dari novel grafis karya David Lloyd terbitan Vertigo/DC Comics tak membuat V for Vendetta kehilangan ruh gema sadar bertindak. Tak ada takut bereaksi terhadap sistem yang salah. Karakter ini diwakili oleh Evey Hammond (Natalie Portman) yang mengalami fase perubahan diri. Berlatar belakang mempunyai orang tua pasangan aktivis politik penentang perang dan reklamasi dengan akhir hidup tragis menjadikan Evey seorang yatim-piatu yang mulanya takut dan coba berdamai dengan lingkungannya.

London era abad XXI tempat dimana Evey tinggal digambarkan sebagai kota aman, tenteram, dan mapan dalam konteks represif dan serba sensor. Terdapat regulasi jam malam demi keselamatan bersama. Siapapun keluar rumah tanpa izin di atas jam yang ditentukan maka bisa ditahan. Oleh kanselor agungnya, rakyat Inggris dicekoki pelbagai isu-isu negatif atas kaum marjinal—dalam hal ini ekstremis keagamaan, homoseks, dsb. Merekalah yang menjadi kambing hitam atas segala masalah kehidupan bernegara.

Lalu muncullah karakter dengan topeng ala Joker menempel di wajah bernama V yang selanjutnya menyulut kobar api dendam terhadap penegak negara demi nilai-nilai dan kejujuran. Pertemuannya dengan Evey terjadi ketika Evey melanggar regulasi jam malam. Sejak malam itu, mereka saling mengenal satu sama lain. Aksi pertama V ditandai dengan pengeboman Gedung Old Bailey—sebagai simbol hancurnya keadilan semu—pada 5 November. Tanggal ini menjadi tonggak bersejarah yang dipilih V berdasar dari ceritera upaya pengeboman gedung parlemen oleh tokoh bernama Guy Fawkes pada tahun 1605. Di sini V for Vendetta berucap bahwa bolehlah tubuh seseorang binasa, namun tidak demikian yang terjadi dengan pemikiran besarnya.

Sutradara James McTeigue mengeksekusi skenario tulisan Wachowski bersaudara secara cermat. Berhati-hati guna menghindari kesan menggurui penonton. Pemilihan lagu serta pengaturan musik latar yang fleksibel namun rapi membangun V for Vendetta sebagai karya kreatif berjiwa reaktif. Sangat klop sebagai suguhan paket revolusi.

“Artists used lies to tell the truth while politicians used them to cover the truth up.” [B]

Resensi: Bodyguards and Assassins (2009)


Membicarakan sejarah sebuah bangsa tak pernah luput dari proses gejolak di dalamnya. Tatkala kita bercengkrama ihwal Cina—negeri berpopulasi terbesar di dunia, tersimpanlah satu kisah nasionalisme demokrasi sebagai salah satu mutiara sinologi. Apa dan siapa lagi kalau bukan merujuk pada upaya demokratisasi dan sosok Sun Yat Sen.

Film Bodyguards and Assassins merekonstruksi sejarah secara melodramatik lewat perspektif para pelindung kehadiran Sun Yat Sen di Hong Kong—pada masa di bawah kekuasaan pemerintah imperialis Inggris. Dalam kurun waktu yang sangat terbatas Sun Yat Sen berbagi ide mengenai revolusi, di samping konsolidasi bersama para delegasi dari 13 provinsi Cina dalam upaya pembebasan Cina dari kekuasaan Manchu yang feodalistik.

Dua kepentingan masing-masing sama berjuang. Bodyguards mewakili kaum pembaharu, sedang Assassins membela kaum konservatif. Walau sebangsa setanah air apabila tak ada ruang berdialog satu sama lain maka yang ada hanyalah pertentangan tiada akhir. Inilah yang juga ingin disampaikan dari film laga bertabur aktor gaek Mandarin ini.

Tak butuh membaca ulang buku sejarah jika ingin menikmati film ini sebagaimana kita menghafal lirik lagu sebelum menonton konser band musik. Bodyguards and Assassins bukanlah film sejarah otentik. Ia diorama afektif dalam sebuah musium mewah.

Dalam satu adegan, Sun Yat Sen menjabarkan alasan mengapa ia beralih dari memelajari ilmu kedokteran ke ilmu politik. Dengan menjadi dokter ia hanya mampu mengobati sebagian masyarakat Cina, namun dengan menjadi seorang revolusioner maka masa depan seluruh bangsa Cina dari peradaban zalim menuju perdaban yang lebih baik bisa diperjuangkan. [C+]

Resensi: Freedom Writers (2007)


Ruang 203 Woodrow Wilson High School, Long Beach, California menjadi saksi betapa hebatnya kekuatan toleransi mampu meluruhkan ketegangan rasial yang terjadi di sekitarnya pada tahun 1992. Adalah Erin Gruwell seorang guru muda 23 tahun yang dihadapkan pada kenyataan pahit mendapat kesempatan pertama mengajar dalam kelas berintensitas gejolak rasial cukup sengit.

Siswa-siswi Erin yakni pemuda-pemudi dari berbagai kalangan warna kulit dan status sosial. Afro-Amerika, Latin, Asia, si kaya, si miskin, yang tak jarang di antara mereka tergabung dalam aliansi geng. Yang mereka sebar dalam kelas hanyalah kebencian satu sama lain. Dunia kekerasan merupakan menu harian keseharian mereka.

Stres menghinggapi Erin di awalnya. Setiap kali mengajar, tak ada hormat dan santun yang ditunjukkan siswa-siswinya. Saling ejek satu sama lain, pemetaan bangku ajar yang “berkotak-kotak” atau saling pilih kawan juga lawan menyebabkan proses belajar-mengajar teramat tak kondusif. Mana ada akalanya di tengah proses belajar-mengajar bel sekolah berbunyi menandakan ada kisruh kekerasan geng.

Hari demi hari dijalani Erin sembari mengembangkan strategi supaya bisa mempersempit jarak antarsiswa-siswinya. Mulai dari pendekatan musik, sampai dengan bacaan The Diary of Anne Frank. Lambat laun siswa-siswi Erin terkoneksi secara naluriah lewat bacaan yang satu ini. Di dalamnya mereka memahami sejarah intoleransi terbesar sepanjang masa. Sebuah pengetahuan yang selama ini tak pernah mereka dapatkan.

Mengetahui banyak kisah duka yang bisa dibagi oleh siswa-siswinya, Erin mendorong mereka untuk menulis jurnal harian. Tak ada paksaan. Di situ mereka bebas menulis apa yang mereka pikir dan rasakan. Boleh dibaca atau tidaknya jurnal harian tersebut oleh Erin pilihan mutlak ada di tangan siswa-siswa sendiri. Lewat kisah dan buah pikiran yang ditulis secara bebas, pintu berbagi rasa mulai terbuka pada diri siswa-siswi Erin demi masa depan yang tak pernah terlintas di benak sebelumnya. [B]

Resensi: The Shawshank Redemption (1994)


Bukan lantaran karena pernah dinobatkan sebagai nomine film terbaik Oscar lantas The Shawshank Redemption layak mendapat perhatian. Hingga pada saat kita membuktikannya sendirilah baru bisa disadari betapa dahsyat karya Frank Darabont (The Green Mile, The Mist) atas adaptasi tulisan master horor Stephen King ini. Sebuah film tentang semangat manusia di tengah jebakan teori terinstitusionalkan.

Andy Dufresne (Tim Robbins), seorang bankir pendiam nan misterius dijebloskan ke dalam hotel prodeo atas dakwaan pembunuhan keji terhadap isteri dan selingkuhan isterinya. Kehidupan sel mempertemukannya dengan “Red” Redding (Morgan Freeman), seorang tahanan dengan predikat penyelundup kelas kakap barang-barang pesanan tahanan. Dari perkenalan awal yang kaku hingga terwujudnya transaksi selundupan pertama barang permintaan Andy, hubungan antara Andy dan “Red” kian membentuk jalinan persahabatan yang tak terkira ujungnya.

Lewat penggambaran sudut-sudut kehidupan sel yang kaya dan dramatis, The Shawshank Redemption menangkap ruh masyarakat terinstitusionalkan secara apik dalam tataran filosofis. Bagi yang dipenjara, seolah-olah hidup mereka telah sengaja direnggut dan harapan adalah impian terlarang nan berbahaya yang bisa membuat edan. Di tengah-tengah pandangan yang demikian, Andy muncul sebagai tahanan yang teguh memutarbalikkan stigma tersebut. Lewat salah satu adegan heroik, Andy mengibaratkan musik sebagai ekspresi merdeka. Tak satupun orang yang mampu menghadang kita saat menyelami musik, sekalipun musik tersebut hanya kita putar sendiri dalam angan.

Penjara bukanlah benteng tak bergeming, masyarakat di dalamnya pun bukannya pasir basah yang tak dapat terbang oleh angin. [A]

Resensi: Into the Wild (2007)


Pernah terpikirkah oleh Anda menyumbangkan seluruh simpanan dana kuliah ke sebuah badan sosial? Apalagi semuanya itu dilakukan demi sebuah perjalanan idealis. Menuju ke alam buas. Paling tidak inilah salah satu pengadegan dalam Into the Wild. Sebuah film penampil revolusi spiritual seorang mahasiswa potensial. Keluar dari sistem masyarakat yang dianggapnya hipokrit bin sakit. Yang melupakan sifat utama kegunaan karena terlena silaunya kemewahan semu, seperti mengganti mobil lama terkondisi baik dengan mobil baru yang mana tak ada perubahan fungsi mendasar antar keduanya.

Lewat buku-buku bacaan karya Thoreau, Tolstoy, Jack London, seorang lulusan kuliah Christopher McCandless 22 tahun dengan masa depan menjanjikan tergerak undur diri dari kehidupan mapan menuju petualangan ke alam buas, Alaska. Di sini memang nampak semata-mata pelarian bermotif asosial, namun tidak demikianlah dengan apa yang terjadi dengan Chris. Perjalanannya dari ladang gandum South Dakota, Colorado River, sempat sejenak memasuki Meksiko, hingga Slab City California menemui beraneka ragam tipe masyarakat. Sebutlah pasangan petualang bebas, hippies, kriminil, dan pensiunan militer. Semuanya membawa visi dan prinsip hidup masing-masing mengenai untuk apa mereka hidup, demi siapa, dan menuju ke mana. Saling menawarkan idealisme satu sama lain namun tidak pernah ada niat saling memaksa. Chris tetaplah Chris. Ia coba berkawan dengan alam dan hidup dengan definisinya sendiri.

Bermuara kemanakah perjalanan menuju alam buas ini? Catatan dan pengalaman mendiang Chris telah menginspirasi Sean Penn memfilmkan masa-masa akhir hidup Chris. Selama dua jam lebih Into the Wild siap mengaduk jiwa pemirsanya dengan ketajaman imajinasi moment of truth lewat pengambilan dan penyuntingan gambar yang teramat peka suasana hati. Ditambah dengan permainan band akustik beserta gubahan lirik lagu aspiratifnya, membuat Into the Wild sempurna jadi suguhan asketik walau tak harus sendirian menontonnya.

Pernah terpikirkah oleh Anda menyumbangkan seluruh simpanan dana kuliah ke sebuah badan sosial? Setelah pungkasan Into the Wild, baru akan kita sadari harga dari seluruh simpanan dana kuliah Chris yang disumbangkan ke Oxfam… [B+]

Resensi: Yes Man (2008)


Menjawab “ya” untuk segala permintaan. Inilah resolusi ekstrem dari seorang Carl Allen (Jim Carrey) yang minder, apatis, dan penolak ajakan sosial. Pernah gagal membina rumah tangga, tak banyak kawan setia, serta luput dipromosikan kerja. Seolah tamat sudah kesempatan Carl bernafas lebih lama di dunia yang akhir-akhir ini mendambakan sosok motivator macam Mario Teguh.

Hingga tiba masa wahyu datang kepada Carl. Bermula saat ia secara tanpa sengaja berjumpa dengan kawan lama yang nampak sangat bergairah menjalani hidup karena berpikir telah sukses menggunakan mantra kata jawab “ya”. Yakni selalu menjawab “ya” acapkali diminta melakukan sesuatu. Si kawan lama pun memprospek Carl untuk bergabung dengan seminar motivasi “YES”. Awalnya Carl acuh tak acuh dengan ajakan ini. Namun karena hidupnya makin dirasa terpuruk, hasilnya tak ada jalan putar lain selain mencoba hal baru. Dan berputarlah roda masa turning point Carl…

Jikalau ingin bernostalgia dengan peran wajah karet Jim Carrey ala The Mask dan Ace Ventura pastilah Yes Man bisa jadi opsi tunggal mengingat belakangan ini Carrey lebih memilih peran lain dan menantang menurut opininya, katakanlah film macam Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Hiburan Yes Man terletak pada usaha penyederhanaan ide spekulatif tentang bagaimana jika kita mengubah kebiasaan demi perubahan. Dengan bungkus kemasan komedi slapstik, Yes Man termasuk kategori film bermaksud serius lewat cara pandang humor.

Tak ada jaminan bergaransi dari sutradara untuk membuat penontonnya ketularan menjawab “ya” selepas menonton Yes Man. Meski demikian, Yes Man mengusung topik spesifik untuk dibincang-candakan. [C+]

Minggu, 06 Februari 2011

Resensi: Sang Pemimpi (2009)


Saya belum baca tetralogi fenomenal Andrea Hirata. Sekuel pertama ini masih disutradarai sang suksesor film anak musikal era 90-an nan monumental Petualangan Sherina, Riri Riza. Bersama produser Mira Lesmana, tim kreator Sang Pemimpi sekali lagi mempertahankan sentuhan Midas dalam hal akurasi artistik. Mereka ibarat pekerja yang memikul beban teramat berat karena selalu mengangkat tema besar dengan antusiasme dan pengharapan yang tinggi dari calon audiensnya.

Melanjutkan kisah Ikal cs., Sang Pemimpi bercerita Ikal dewasa yang telah mengalami banyak suka-duka hingga bisa menjadi sang pemimpi berhasil. Ya, mendapatkan beasiswa kuliah di Eropa. Alur ceritanya kilas balik jadi jangan harap bakal menyaksikan Ikal dewasa berlama-lama. Tersebutlah Arai di sini sebagai pemicu mimpi. Bocah kreatif nan enerjik ini sepupu jauh Ikal yang hidup sebatang kara. Arai dan Ikal bersama satu teman seperjuangan selatar belakang lagi bernama Jimbron menjadi trio petualang cinta dan cita-cita di ranah Melayu kaya timah yang jauh dari kemakmuran.

Cukup banyak cameo kontributif dalam Sang Pemimpi. Ada Nugie sebagai guru motivator dan progresif, juga Ariel “Perterpan” sebagai Arai dewasa. Bravo buat mereka berdua terlebih kepada Nugie, yang statusnya jadi layak bukan cameo lagi. Akting para pemerannya pun patut diacungi jempol, membuat saya merasa percaya dan dekat dengan mereka.

Salut dan terima kasih setulusnya buat Andrea Hirata yang mau berbagi kepada dunia tentang kisah hidup dirinya yang sangat inspiratif dan menggugah. Hal pelemah film seperti editing yang keseringan fade in fade out juga beberapa adegan soliter yang kesana kemari tanpa gigitan jelas jadi tak mempan meloyokan intensitas dari kisah hebat tentang pentingnya mimpi dan usaha keras ini. Lepas OST yang dilantunkan Gigi di akhir film selesai, tiba-tiba saya merasa kerdil. Saya dibonsai oleh kisah Sang Pemimpi. [B-]

Jumat, 04 Februari 2011

Resensi: Eat Pray Love (2010)


Satu kata untuk film ini. Panjaaaaaaaaaang. Risikonya, bosan! Hanya ada beberapa momen yang layak disimak. Roma, India, dan Bali jadi saksi cewek New York frustrasi bernama Liz.

Julia Roberts yang sudah cukup lama tak tampil, sepertinya tak bakal mampu obati rindu dan membangkitkan nostalgia penggemarnya. Tak lain karena durasi drama yang terlalu panjang dan melelahkan bak putaran lotere yang rutin ditarik berkali-kali karena tak pernah kena target utama. Duka, ria, sendu, renung, dan diam silih berganti ditampilkan dengan kekuatan yang datar.

Kisahnya bermula dari Elizabeth Gilbert yang tahu-tahu merasa ada yang tak seimbang dalam hidupnya. Dimulailah pencarian keseimbangan dan pencerahan itu walau dengan mengorbankan kehidupan rumah tangga. Bercerai, kemudian tinggal serumah dengan aktor amatir Broadway yang dikasihinya. Alih-alih peroleh bahagia, ternyata hubungan ini pun kandas begitu cepatnya. Lantas Liz susunlah plesiran impulsif ke Roma (Eat), India (Pray), dan Bali (Love). Ia hendak membangkitkan rasa laparnya yang telah lama hilang di Roma. Bermeditasi ria untuk belajar memaafkan diri di India. Membuka hatinya lagi di Bali.

Adaptasi buku laris ini tak sepenuhnya berantakan, bahkan cukup lembut di awal dan menyengat di beberapa adegan – seperti ketika Stephen si anggota meditasi curhat kepada Liz tentang kesalahannya. Emosi yang berulang dan efektivitas penceritaan menjadi titik lemah dari film depresi dengan set lintas benua ini. Pastikan Anda membawa bantal, guling, selimut, dan obat nyamuk kala menontonnya. [C]

Resensi: 4 Months, 3 Weeks, & 2 Days (2007)


Aborsi. Sebuah tema film yang jarang diangkat namun penuh tantangan jika digali. Saya tak akan tertarik menonton film ini apabila tak ada embel-embel peraih palem emas Cannes karena simpel saja, judulnya. Umum dipakai judul film horor zombie, dsb.

Set era 1987 ketika rezim komunisme runtuh di Romania. Dua pemudi, Otilia dan Gabita, yang tinggal sekamar merencanakan aborsi atas janin yang ada dalam kandungan Gabita. Mulai awal sinematografi handheld minus polesan menyeruak menyorot dialog Otilia dan Gabita yang getir dan tanpa keyakinan penuh untuk memulai rencana aborsi. Dengan uang pas-pasan mereka menyewa kamar khusus bakal tempat operasi. Tanpa mengetahui jelas reputasi sang algojo aborsi, mereka nekat mempertaruhkan apa yang mereka miliki.

Tema sosial seperti ini akan selalu memicu diskusi setelah menontonnya. Di luar konteks apakah menghibur taknya, mengharukan taknya, membosankankah? Sudah merupakan suatu keberanian bagi seluruh kru film memproduksi film yang cukup eksplisit sajikan hal dewasa ini. Nah, sekarang pasti Anda tahu apa arti dari judul film ini? [B+]

Kamis, 03 Februari 2011

Resensi: How to Train Your Dragon (2010)


Kenapa ya macam film seperti ini tak akan pernah bosan dibuat dan dipertontonkan? Seperti lagu lama dengan segala formula wajibnya. Kisah dengan karakter utama from zero to hero ditambah pemantik revolusi. Tokoh sentralnya Hiccup bocah dari bangsa Viking yang sangat diragukan kevikingannya oleh bangsa bahkan ayah kandungnya sendiri. Sejak lahir tak menampakkan karakter spartan. Yang ada ia tumbuh sebagai produk gagal karena dipandang tak mampu membunuh naga seperti yang dilakukan oleh sebangsa umumnya.

Suatu kebetulan mempertemukan ia dengan seekor naga misterius yang dalam ensiklopedi bangsanya belum teridentifikasi. Awal-awal ia hendak membunuh, namun ada dorongan batin yang membuat ia batal melunaskan niatnya. Kembali ke formula Hollywood, dari sini hubungan persahabatan antara Hiccup dan si naga yang diberi nama Toothless terjalin hingga menyeret mereka ke dalam berbagai rintangan. Mulai dengan keterbatasan Toothless karena sirip ekornya timpang hingga pertentangan antara Hiccup dan ayahnya.

Tentu ending sudah bisa diterka mau dibawa ke mana film-film macam ini. Bolehlah Disney selalu sukses estafet dengan racikan kartun – yang sekarang didominasi dengan CGI – tiga babak plus happy ending, tapi tim Dreamworks agaknya akan selalu membayangi dominasi. Mungkin sekarang tinggal mau sevisioner apa ide yang ditawarkan. Di sini Disney (bersama Pixar) masih memimpin jauh, terlebih dengan robot pendaur ulang sampahnya (Wall-E). [B]